Minggu, 06 Oktober 2013

malam jakarta -bag.1-

“kopi bang”
“kopi apa mbak?”
“pada mau kopi apa hey?”
“aku coffemix”
“sama”
“aku white coffe aja, biar tambah putih”
“coffe mix 2, kopi item 1, white coffe 1 bang.”
          Ayu, dia wanita yang memesan kopi untuk kami. Entah sejak kapan ia menyukai kopi hitam. Lama saya tak jumpa dengannya, banyak perubahan. Hanya satu yang tidak berubah, dia tidak “Ayu”. Memang sejak dulu ia tomboy, mungkin karena itu ia menyukai kopi hitam.
“ini mbak”
“kopi item 2, white coffe 1, kopi mix 1”
Kami heran
“yawdah gakpapa” bankbross sambil beranjak.
“kemana bank?” sahutku
“meuli udud”
Setauku abank sudah mengantongi rokok.
“yeuh cocok jeung kopi hideung” sambil pamer 234 dua batang.
“ah maneh ma aki-aki”
“yuk kita nyari spot nongkrong” mhadamz angkat bicara.
“enggak ah, males nongkrong ma” tolakku.
“kok gitu sih?”
“kalo duduk hayu, nongkrong ma pegel”
“bwahahahha” semua geli.
“yaelah, kite di jakarte tjum, gaol dikit ngape”
Aku pura-pura bego, walau aku tau aku ,gak mau menghentikan tertawaan mereka.
“mhadamz, sini aku bawain kopinya”
“nih” sambil menyodorkan coffemix ditangannya.
          Selalu menyenangkan dengan mhadamz, apalagi saat gegombalan, layaknya kami berpacaran, tapi tidak akan, dia sudah ku anggap adik sendiri. Aku harus menjaganya. Jika dikemudian hari skenarionya berubah? Ya lihatlah nanti.
          Kami berjalan diantara kerumunan manusia. Mereka berjajar sepanjang jalan –entah apa namanya- senayan city. Mencari spot duduk-duduk –aku tetap tidak mau nongkrong-. Akhirnya kami mendapat tempat. Cukuplah untuk empat pantat yang mungil. Kami duduk. Di belakang mhadamz dan cheper –sebutan ayu kala dahulu, cheper=chewe perkasa-pot bunga besar. Dibelakang ku dan abank orang berpacaran dan tukang tahu gejrot. Sayang saja tukang tahu gejrot tidak berpacaran. Jika ia berpacaran, lenyaplah tahunya olehku.
          Ini malam makin kelam. Untung saja aku memiliki manusia seperti mereka. Sahabat. Mataku sudah lelah dari kemarin. Apalagi sebelum bertemu, hujan kalkulus, kimia dan air menerpaku. Entah mengapa daku menjadi kuat. Terlebih ketika menatap mata mereka. Mendengar tawa mereka. Dan mencium aroma kebahagiaan dalam dada mereka.
          Jarum jam terus bergulir, menghantam kami yang sedang berkisah. Tanpa ampun ia terus berlalu. Menyisakan sedetik lalu menjadi kenangan. Manusia dan kuda besi saling memperlihatkan egonya. Ketampanan. Mereka tertawa mereka terbahak mereka manusia.
          Segala macam cairan terlihat disisi mereka. Gelas plastik penampungnya. Dari mulai jamu, jus jambu, hingga yang berbau –ciu-. Kata mereka, hangat menenggak air kelabu. Namun cukuplah dengan tali ini –sahabat-, kopi serta dua batang 234 yang dibeli abank tadi menjadi penghangat kami.
          Bahuku disentuh lembut. Bukan, bukan tangan kasarnya abank yang pekerja keras. Bukan pula tangan cheper, karena ia lebih suka memukul bahuku daripada menyentuhnya. Dan kupastikan pula bukan tangan lembut mhadamz, ya jika dibandingkan dengan cheper dan abank. Tangan ini mungil. Dan setelah menoleh kulihat anak yang teramat muda –balita, 4th mungkin- memasang wajah terburuknya. Aku berfikir beberapa saat. Dan pada kesimpulan. “malam ini aku tidak membawa anak, dan tidak punya pula”. lalu milik siapa ranting muda ini? Milik siapa masa depannya? Dia hanya mampu mengulurkan tangan. Aku berharap ia memberi ternyata ia meminta. Pandanganku berkeliling, siapa pemiliknya? Tertangkap! Wanita sebaya dengan kami, dia hanya menunggu si kecil menggenggam tangannya dan berteriak “seribu” –degan logat balita tentunya-. Ada rasa iba melihat rautan si kecil namun berubah 1800 jika melihat benalunya. Akhirnya hanya kata maaf yang terucap dari bibirku. Ketiga temankupun serupa. Mereka sedikit tertunduk. Malukah? Entah apa yang mereka fikirkan. Yang jelas kebencianku terhadap benalu lebih besar daripada rasa iba untuk memberi. Namun mungil tangannya terus memaksa kami mengeluarkan beberapa rupiah. “maafkan aku adik kecil, harusnya kau bermain dan benalumu bisa berbuat lebih, bukan meminta lebih”. Perlahan ia mengerti, dan pergi ditelan kerumunan manusia. Ia tetap tersenyum. Tapi tidak kulihat pada benalunya. Mungkin ia kecewa atau apalah hanya ia yang mengerti.
          Tak lama berselang hadir charlie’s angel, atau trio macan, atau apapun mereka. Mereka bertiga. Ketiganya membawa gitar kecil. Berpakaian serba hitam bergambar kutukan, skiny jeans penuh tambalan, rambut panjang hampir acak-acakan, suara parau dan serba ketidakteraturan yang terjadi pada diri mereka. Mereka semua wanita, mencari harta dengan membawakan lagu cinta. Umurnya dibawahku beberapa tahun –asumsi-. Mungkin kami lebih beruntung masih memiliki pekerjaan yang layak. Alhamdulillah. Tapi mengapa mereka harus menjual suara yang tidak jelas pada kami. Aku yakin mereka masih memiliki daya untuk melakukan hal lain dan berkarya. Benarkah keadaan yang memaksa? Atau kenyamanan mereka dengan tidak berlaku lebih. Ok.lah jika memang terpaksa, tapi seharusnya hasil yang mereka dapatkan dibawa pulang untuk membahagiakan orang rumah. Namun nampaknya itu tidak akan terjadi. Dari penampilan mereka pastilah uang hasil berkeliling sepanjang malam digunakan untuk hal lain. Mungkin untuk pesta. Entah pesta apa, atau apa yang mereka rayakan. Mengapa aku berfikir seperti itu? Bukan tanpa alasan. kala kelas 3 SMP aku pernah berteman dengan yang sejenis dengan mereka. Bedanya temanku lelaki semua. Untuk merasakan bagaimana kehidupannya aku terjun langsung. Singkat cerita sebelum mengamen kami memalak, menjadi calo angkot dan udunan untuk membeli “minuman”. Lalu kami mengamen dari siang sampai sore, berebut lapak dengan sesama pengamen dan hal lainnya. Hasil kami banting tulang hanya untuk membeli “minuman’’ dan sekantong kresek ubi mentah. “Sia-sia” hatiku bicara. Mereka terbiasa “minum’’ dan “ngobat” (dekstro) untuk mempertebal mental katanya. Supaya tidak malu. Jika hal ini memalukan mengapa dilakoni gumamku. Toh nyatanya kami masih muda dan bukan hal yang sulit untuk berkerja. Pait-paitnya kami bisa menjual tenaga kami sebagai kuli. Kala itu kami berempat. Dan hanya aku yang tidak “ngobat” dan “minum”. Alhamdulillah Allah masih memberiku rasa takut. Dan saya simpulkan teori mereka tentang memperkuat mental NOL besar. Nyatanya aku yang tanpa doping bisa menjalani semua yang mereka lakukan dengan lancar. Mental itu tumbuh dari niat dan hati yang murni bukan alkohol murni.

4 komentar:

  1. Bagus cum.. Jadi pengen duduk2 lagi sama-sama, melihat gemerlap kota. :)

    BalasHapus
  2. Kapan dimana kita menghabiskan kopi lagi? Ya sesekali mentertawakan dunia ini

    BalasHapus
  3. yuk nongkrong gahol lagi ampe subuh hihihihi

    BalasHapus