Saat
melihat film “2012” saya tidak percaya bahwa akan terjadi kiamat secepat itu
dan setidak logis itu. Namun tidak menutup kemungkinan semua akan terjadi,
bahkan lebih dahsyat. Namun yang saya yakin kiamat semakin dekat tidak mungkin
semakin jauh. Saya membayangkan betapa indahnya surga yang telah dijanjikan
namun saya yakin saya tidak akan pernah kesana dengan keadaan saya sekarang
kecuali Allah berkehendak lain. Saya pernah bertanya –pertanyaan bodoh mungkin-
adakah gunung dan alam untuk dijelajahi di tempat kesudahan dunia. Saya semakin
yakin bahwa pertanyaan itu adalah benar-benar pertanyaan bodoh, dengan segala
keterbatasan saya sebagai manusia saya tidak akan menemukan jawabannya.
Namun
saya telah menemukan serpihan kecil dari surga itu di bumi. Keindahan alam raya
yang tiada tara. Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan keindahan pertiwi
ini, jikapun ada itu hanya coretan tinta dari sebuah aksara yang tersusun rapih
dalam halaman-halaman –buku-. Menjelajah adalah surga dunia. Walau hanya sebatas
menyusuri rel kereta, menghitung kepiting sepanjang garis pantai. Menjadi
tukang sampah di gunung-gunung. Berenang di udara. Terjebak dalam jeram.
Menggantikan peran ‘’kalong’’ dalam gua. Bahkan berjalan melewati gang
sempitpun suatu surga jika kita dapat pelajaran. Entah gunung atau tempat mana yang akan saya
singgahi sebelum mata ini merekat rapat. Dan bila saya mati pastilah tidak ada
yang saya bawa, tidaklah manusia mengenang saya. Saya pernah membaca dengan
petikan “manusia tidak akan dikenang tanpa sebuah karya” maka aku “menulis”.
Entah bermanfaatkah coretan-coretan ini, jikapun tidak saya telah mencoba.
karna ada suatu titik dimana manusia tidak akan berhasil, dia hanya mampu
merayakan percobaan-percobaannya. Namun itu bukan pembenaran jika kita gagal.
Di akhir ketakutan-ketakutan semu saya mulai
menyusun lembar-lembar yang tercecer di otak –yang katanya masih berfungsi-.
Perjalanan kecil, saya rasa belumlah saya berprestasi yang memposisikan saya
harus membagikan kiat-kiat agar berhasil. Namun saya ingin membagikan
perjalanan kecil tadi yang penuh dengan ketidak berhasilan agar kita semua
dapat mengambil pelajaran.
Dalam
vidio clip “paradise”nya ColdPlay saya terkesan dengan –sepertinya- gajah yang
berusaha mencari surganya didunia sebelum surganya disana. Terjebak dalam
kandang bukanlah hal yang menyenangkan, walaupun semua telah tersedia disana.
Makanan tak pernah kurang, dimanjakan pawang, bahkan dikagumi semua pengunjung.
Tapi bukan itu. Bukan itu kehidupan. Gajah itu berani keluar dari zona nyaman,
berlari dari penjaga kepentingan, bersepeda entah berapa jauh, berkereta dengan
terus berfikir apa selanjutnya, survive mencari makan ditengah kehidupan
manusia yang tamak, namun ia tetap ceria dengan selalu tersenyum hingga
akhirnya ia bertemu dengan keluarga dan “surga”nya.
Terkadang
kita lebih rendah dari binatang –gajah-. Kita hanya bisa menerima dan menerima,
tidak tahu bahwa sebenarnya potensi diri dan alam luar yang lebih dahsyat
dibandingkan yang kita bayangkan. Kita hanya menjadi obyek pembodohan sang
majikan. Maka dari itu mari kita temukan surga kita, mari merdeka, bebas
–dengan aturan-. Dan inilah sebagian dari surga saya, MENGEMBARA. BERKARYA.
KARYA
Karya?
Karya
adalah diri kita..!
Diri
kita dengan prilaku
Hanya
balita yang bisa berkarya dengan mengadukan bibir semata
Diri
ini adalah penggerak kemunafikan, kebohongan, dan berujung kehancuran
Karya
adalah…
Sebuah
tentang petunjuk tentang dimana ia ditempatkan
Terjebak
dalam kenistaan atau memberontak dari peradaban
Menciptakan
segala keajaiban…
Berprinsip
diluar kemampuan fikiran
Berkarya
dengan tindakan! Bergerilya!
Sadar
akan eksistensi diri terhadap perubahan
Tetesan
darah pejuang
Air
mata ibu mereka
Kegelisahan
anaknya
Semua
mengalir dalam diri…
Revolusi
belum berakhir
Dan
Tidak
akan pernah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar