Kamis, 31 Oktober 2013

anak pedalaman -bag2-

Ya begitulah orang hebat di hutan kami.
Kami memiliki beberapa kain.
Dari oarang asing.
Waktu itu ada gerombolan orang yang meliput kami.
Dengan kamera besar mereka terus mengikuti kami.
Namun mereka hanya kuat beberapa hari dengan kami.
Lalu pergi entah kemana.
Mereka meninggalkan kain.
Kain mereka hangat dan lembut.
Terkadang kami berebut untuk mencicipinya.
Dari kenikmatan kain aku mulai berfikir.
Ada apa di luar hutan ini.?
Adakah yang hangat selain kain?
Beberapa kali aku bilang pada tuan (ayah).
Aku ingin keluar hutan menjamah bagian lain.
Tapi ayah selalu melarang.
Katanya manusia diluar lebih buas daripada binatang di hutan.
Mualai saat itu aku selalu memimpikan selain hutan.
Aku berdoa pada leluhur agar bisa keluar dari hutan.
Namun leluhur tak kunjung mengabulkan.
Mungkin mereka takut aku berdoa pada yang lain diluar.
Hari berlalu, kini musim air langit lagi.
Lebih tidak nyaman jika musim air langit datang.
Nyamuk semakin ganas, tanah semakin lembek dan kami selalu kedinginan.
Ah... aku jadi teringat selimut  hangat itu lagi.
Oh ya selimutnya sudah sobek di buat teman.
Tak lama dari itu ada orang asing datang lagi.
Mereka lima jantan dan dua betina.
Kata ketua adat mereka masiwa yang mau mengajar kami.
Aku tidak mengerti namun yang pasti jika pagi kami tak lagi membantu ayah.
Kami di suruh berkumpul dengan kaka masiwa.
Beberapa pagi tidak menyenangkan dengan mereka.
Bahasanya aneh. Mereka corat-coret tanah.
Bernyanyi dan tertawa.
Beberapa minggu mulai menyenangkan.
Aku baru sadar bahwa tiap pagi kami diajari.
Baca tulis menghitung.
Kata merea itu dasar dan banyak lagi.
Saat bulan purnama mereka pergi.
Kami disuruh keluar hutan jika ingin belajar katanya.
Mereka diperbatasan.
Mengajar anak suku lain.
Aku sangat ingin.
Namun takut.
Takut ayah dan yang dibilang ayah.
Diluar sana lebih kejam daripada hutan.
Ketika bulan separuh aku memutuskan pergi keperbatasan.
Aku mengajak ano teman baikku.
Awalnya ia enggan.
Setelah aku rayu dengan tinju ia mau juga.
Kami sampai perbatasan ketika matahari belum bangun.
Kami menunggu di bangunan bagus.
Dari kayu dan saling menimpa.
Ada rumah diatas rumahnya.
Aku takjub. Ini perbatasan....

bersambung...

Selasa, 29 Oktober 2013

MALABAR, kami angkuh


Hosh.hosh.hosh.hosh...
Astagfirullah.astagfirullah.hosh.astagfirullah...
Allahhu Akbar.hosh.AllahhuAkbar.AllahuAkbar..
Nafasku tak beraturan. Hujan kian deras. Tidak ada jalan. Hanya hutan. Aku berfikir bagaimana cara untuk menyelamatkan diri dari tempat ini. Juga teman-temanku. Aku berada paling depan untuk membuka jalan. Aku terus membawa mereka ketempat yang lebih tinggi. Simple. Dari atas akan terlihat semua. Dan aku berharap melihat jalan pula. inilah sifat manusia. Aku terus meyebut nama-Nya dalam setiap langkah, sayangnya hanya saat terhimpit seperti keadaan saat ini. Munafik memang. Semua dosa teringat, kata-kata tobat terus mengalir.
“udah gelap kita ngecamp disini aja” sahut ku. Kala itu hujan masih lumayan deras. Hutan dengan pohon yang rapat. Kemiringan sekitar 700-800. Sangat tidak layak dijadikan tempat camp. Namun apa boleh buat. Aku sudah lelah. Aku yakin pula dengan keenam tamanku.
“jam brapa ini?” gembel bertanya sapaan akrab widiasti. Bibirnya bergetar menahan dingin.
“gak tau, hp pada mati.” Yusran yang sering kami panggil beko bersuara. Tangannya mulai putih dan keriput.
“ya udah kita tidur disini aja, tendanya gak usah dibikin di selimutin aja.” Ade atau bekok mulai comment.
Memang tidak mungkin mendirikan tenda di tempat seperti ini, maka kami hanya masuk tenda tanpa didirikan dengan tubuh basah dan sangat menggigil. Berharap ada keajaiban walau hampir mustahil. Endra, iyen dan feggy yang grup Lampung dan adik kelasku hanya diam tanpa banyak comment. Pasti mereka sangat lelah.
                Aku mulai memejamkan mata. Tidak lelap tapi cukup membuatku bermimpi. Mimpi atau bayangan aku sudah lupa. aku membayangkan ada dirumah dengan segala kehangatan. Makanan yang hangat. Kamarku yang hangat. Keluarga yang hangat. Bahkan jika aku keluar aku akan bertemu dengan teman yang selalu membuatku nyaman dengan kehangatan mereka. Aku terbangun, gelap dan sangat tidak nyaman. Tenda yang sangat sempit dan kami tujuh manusia malang didalamnya. Semua saling berbagi suhu tubuh. Semua menggigil dan hampir semua keram karena posisi kami yang tidak beraturan.


                Aku baru menyadari jika kondisi ini harus dikatakan kondisi darurat. Terhanya kebodohanlah yang menyeret kami dalam keadaan ini. Jauh terbalik dengan proses keberangkatan kami yang suka cita. Berfoto, tertawa dan segala bentuk kebahagiaan. Akupun merasa bersalah mengajak grup lampung ini. Mereka masih sangat minim pengalaman dalam pendakian namun harus bernasib malang bersamaku.
                Aku menerawang jauh kebelakang mengapa hal ini bisa terjadi........


bersambung

Sabtu, 26 Oktober 2013

anak pedalaman -bag1-

Sahabat. Perkenalkan. Aku anak pedalaman.
Sejak lahir aku sudah di hutan.
Entah bagaimana ibuku dapat bertahan kala itu.
Jika kata orang ada tempat melahirkan yang lebih layak.
Ibuku memilih hutan.
Dengan segala resiko ibuku tegar.
Dengan dibantu bibi ia berusaha keras mengeluarkanku.
Dari tempat gelap ke gelap pula.
Hutan.
Katanya ayahku pingsan beberapa kali ketika menemani persalinan ibuku.
Tak pernah terbayang olehku.
Muka sangar. Tubuh tegap. Kulit hitam pekat.
Bekas luka sekujur tubuh. Bisa takhluk dengan perjuangan istrinya.
Ayahku seorang pemburu yang baik.
Mulai dari ikan hingga binatang buas.
Buruan itu untuk sekali makan.
Hari selanjutnya kami akan kembali berlarian dihutan.
Dari daging hingga tubumbuhan kami cari.
Untuk makan hari ini.
Makanan kesukaanku daging biawak dan daun rambatan.
Tentu saja jika ibuku yang memasak semua bahan menjadi sedap.
kami tinggal dengan kerabat di hutan.
Mungkin kalian menyebutnya suku.
Jumlah kami tidak lebih dari 50 orang.
Sehingga hutan sangat luas untuk kami.
Jumlah anak-anak 9 orang termasuk saya.
Laki tiga lawannya enam.
Permainan kami tidak lepas dari alam.
Jika salah kami bisa celaka seketika.
Para laki sering baku hantam.
Wanita diam kadang ikut menendang.
Namun dalam waktu singkat kami berbaikan.
Jika ada yang luka atau sakit kami tak pernah khawatir.
Salahsatu dari kami pasti membawa yang sakit  kegubuk “peram”.
Jika sudah digubuk peram yang sakit hanya tinggal diam.
Semua kerabat akan saling membantu mencari obat di hutan.
Selain pandai memasak ibuku pandai menumbuk obat.
Semua kerabat suka dengan obat.
Obat tumbukan ibuku.
Cepat khasiat lalu sehat.
Pakaian kami seadanya.
Bahkan telanjang.
Satu baju dapat dipakai beberapa bulan.
Terkadang bergantian dengan yang lain.
Bajuku bergambar orang dengan kumis sedikit sambil menunjuk kelangit.
Lalu ada tulisan “hiler”.
Entah siapa dia, tapi katanya orang hebat.
Berarti ia dapat membunuh beruang besar untuk makan seluruh kerabat.
Ya begitulah orang hebat di hutan kami.
Kami memiliki beberapa kain.
Dari oarang asing.
Waktu itu ada gerombolan orang yang meliput kami.

Jumat, 18 Oktober 2013

packing

mungkin hanya ponco yang aq anak tirikan
amunisi tuk mencekik kelaparanpun hanya sebatas kopi dan beberapa puntung rokok
sepertinya menyenangkan bertualang dalam kesendirian
namun impian tuk menghitung langkah dalam heningnya hati harus berantakan ketika para hama mulai bermunculan
hei...! berisik sekali hama yang terdiri dari perut itu


cepatlah..! aq bisa tertinggal kereta kencana menuju singgasana
hama-hama itu tampak sibuk membuntutiku..
aq hanya diam agar mereka sadar q hanya perlu ketenangan..

aq berusaha melangkah agar penat ini terdampar sebagai sebuah kisah..
walau jauh dari keadaan awal q tetap harus melempar kegelisahan ini...
aq bukan lari dari masalah hanya saja mencari jalan tikus agar lebih cepat memeluk masalah
yup, walau awal perjalanan merupakan awal permasalahan aq akan tetap melangkah...

huft, lawang angin diselimuti awan kali ini..


gerakan bibir pertama terlempar pada bapak berseragam loreng..,
jemarinya menghimpit kartu remi, dahinya mengkerut, matanya seakan akan keluar.. tampaknya ia tidak rela kalah dalam permainan ini, seakan harga diri di pertaruhkan mereka saling adu teknik terbaik agar menjadi pemenang...

bokongku beradu dengan tanah, ambil sebatang rokok tuk menikmati jajaran pohon pinus yang rapih bak disiapkan pemimpin upacara, semua pinus begitu khidmat berdiri tanpa ada gerak tambahan, mereka fokus dan patuh dengan peran mereka sebagai penyeimbang alam ini...
aq iri dengan mereka yang selalu konsisten menjalankan tugas tanpa sedikit pun mengeluh
mereka tampak akur dengan makhluk lain yang ada disekitarnya tanpa ada perselisihan mereka saling melambai dengan gembira, betapa terharunya aq merasakan keharmonisan yang tak terkira. udara yang berkumpul membuat kulit menagih kehangatan, itu pertanda aq belum boleh berhenti dan terhenti oleh keramahan mereka...

saat ku melangkah mereka mendesiskan nama ku,ku
tolehkan leher ini dan tersenyum. ternyata mereka memberikan bekal kehidupan dengan tangisan getah dan daun yang jatuh ke tanah..

tarian di tengah hutan terhenti, sesaat mendapati ruang tertutupi sesuatu yang putih, sesuatu itu terus mengalir mengiri langkahku... putih,putih dan semakin memekat dijalan setapak yang memegang jurang disampingnya..

ku temui sahabat lama yang telah pergi, walaupun manusia seperti kami selalu bermimpi tuk mati di tempat seperti ini ku harap kejadian itu tak terulangi. bukan karena alam ini yang kejam menelan setiap pendaki, mungkin karena kami tak bisa melihat tanda-tanda Illahi, ma'afkan kami para pendaki yang hanya bisa menelusuri alam ini ya Rabb..
ku harap alam ini abadi karena kami hanya bisa menikmati serta mentafakuri hamparan luas bumi pertiwi.. terimalah taubat manusia hina ini dalam setiap detik kelengahan diluar kesadaran yang telah menyelimuti wahai dzat yang Maha Tinggi.

tiba-tiba satu pondasi kokoh berdiri tegak muncul dari sesuatu yang putih itu. senyum sinis dan bahagia tercampur menjadi suatu larutan yang tak bisa dipisahkan. di pondasi yang kokoh ini sesuatu itu semakin halus menutupi kulit ku yang hitam kelam, seakan sekujur tubuh menjadi putih hingga merasuk ke dalam qalbu. sesuatu yang putih menularkan rasa dingin, menelusup melewati sela-sela bulu tubuh, menembus kulit dan menusuk tulang. aq segera membuka kaos belel yang bertengger d tubuh ku, bermaksud menikmati alur dingin yang menyebar d tubuh.. rasa yang hanya bisa didapatkan dalam ketinggian memecah kesunyian jiwa agar tersentak dan menghentak darah yang sudah lama membeku..

urungkan niat tuk menikmati kopi, lebih baik menghadap sang Illiahi agar alam tetap seperti ini hingga anak cucuku menikmati nanti...


09-02-10
       

MENGAPA SISA?

              Ada yang bertanya mengapa “sisa tinta”? jawabannya penuh dengan klise dan pembenaran. Mungkin karena aku menulis hanya bagian dari sisa tenaga seharian. Ketika siang hari berjuang penuh dengan peluh lalu malamnya mengeluh. Aku menulis. Atau memang semua yang aku tulis adalah sisa-sisa yang tak ada guna. Tentang gugatan-gugatan kerdil tentang kehidupan. Makian-makian nyata tentang cinta. Bahkan ego atas kenangan yang ingin dikembalikan. Semua berbentuk sisa. Tidak utuh dan tidak akan pernah utuh.
                Aku juga menulis dengan sisa. Sisa batrai dilaptop. Sisa quota kata. Sisa kejengkelan. Sisa tenaga. Sisa inspirasi. Sisa hati. Disisa malam menuju pagi. Mengapa menulis lebih mengasyikan malampun jawabannya masih abu. Mungkin keheningannya. Mungkin suhunya. Atau mungkin segala yang hitam harus keluar pada malam.
                Dan pada akhirnya pembaca hanya mendapatkan sisa-sisa yang sebenarnya tidak layak dipersembahkan. Namun yang unik adalah pembaca dan penulis sama-sama menggunakan sisa usia untuk melihat jejeran aksara ini. Yang mungkin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Bergunakah membaca disini? Silahkan pembaca pergi duluan.
“Aku masih ingin menulis hingga tulisan nyata berguna”