Selasa, 29 Oktober 2013

MALABAR, kami angkuh


Hosh.hosh.hosh.hosh...
Astagfirullah.astagfirullah.hosh.astagfirullah...
Allahhu Akbar.hosh.AllahhuAkbar.AllahuAkbar..
Nafasku tak beraturan. Hujan kian deras. Tidak ada jalan. Hanya hutan. Aku berfikir bagaimana cara untuk menyelamatkan diri dari tempat ini. Juga teman-temanku. Aku berada paling depan untuk membuka jalan. Aku terus membawa mereka ketempat yang lebih tinggi. Simple. Dari atas akan terlihat semua. Dan aku berharap melihat jalan pula. inilah sifat manusia. Aku terus meyebut nama-Nya dalam setiap langkah, sayangnya hanya saat terhimpit seperti keadaan saat ini. Munafik memang. Semua dosa teringat, kata-kata tobat terus mengalir.
“udah gelap kita ngecamp disini aja” sahut ku. Kala itu hujan masih lumayan deras. Hutan dengan pohon yang rapat. Kemiringan sekitar 700-800. Sangat tidak layak dijadikan tempat camp. Namun apa boleh buat. Aku sudah lelah. Aku yakin pula dengan keenam tamanku.
“jam brapa ini?” gembel bertanya sapaan akrab widiasti. Bibirnya bergetar menahan dingin.
“gak tau, hp pada mati.” Yusran yang sering kami panggil beko bersuara. Tangannya mulai putih dan keriput.
“ya udah kita tidur disini aja, tendanya gak usah dibikin di selimutin aja.” Ade atau bekok mulai comment.
Memang tidak mungkin mendirikan tenda di tempat seperti ini, maka kami hanya masuk tenda tanpa didirikan dengan tubuh basah dan sangat menggigil. Berharap ada keajaiban walau hampir mustahil. Endra, iyen dan feggy yang grup Lampung dan adik kelasku hanya diam tanpa banyak comment. Pasti mereka sangat lelah.
                Aku mulai memejamkan mata. Tidak lelap tapi cukup membuatku bermimpi. Mimpi atau bayangan aku sudah lupa. aku membayangkan ada dirumah dengan segala kehangatan. Makanan yang hangat. Kamarku yang hangat. Keluarga yang hangat. Bahkan jika aku keluar aku akan bertemu dengan teman yang selalu membuatku nyaman dengan kehangatan mereka. Aku terbangun, gelap dan sangat tidak nyaman. Tenda yang sangat sempit dan kami tujuh manusia malang didalamnya. Semua saling berbagi suhu tubuh. Semua menggigil dan hampir semua keram karena posisi kami yang tidak beraturan.


                Aku baru menyadari jika kondisi ini harus dikatakan kondisi darurat. Terhanya kebodohanlah yang menyeret kami dalam keadaan ini. Jauh terbalik dengan proses keberangkatan kami yang suka cita. Berfoto, tertawa dan segala bentuk kebahagiaan. Akupun merasa bersalah mengajak grup lampung ini. Mereka masih sangat minim pengalaman dalam pendakian namun harus bernasib malang bersamaku.
                Aku menerawang jauh kebelakang mengapa hal ini bisa terjadi........


bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar