Hosh.hosh.hosh.hosh...
Astagfirullah.astagfirullah.hosh.astagfirullah...
Allahhu
Akbar.hosh.AllahhuAkbar.AllahuAkbar..
Nafasku tak
beraturan. Hujan kian deras. Tidak ada jalan. Hanya hutan. Aku berfikir
bagaimana cara untuk menyelamatkan diri dari tempat ini. Juga teman-temanku.
Aku berada paling depan untuk membuka jalan. Aku terus membawa mereka ketempat
yang lebih tinggi. Simple. Dari atas akan terlihat semua. Dan aku berharap
melihat jalan pula. inilah sifat manusia. Aku terus meyebut nama-Nya dalam
setiap langkah, sayangnya hanya saat terhimpit seperti keadaan saat ini.
Munafik memang. Semua dosa teringat, kata-kata tobat terus mengalir.
“udah gelap kita
ngecamp disini aja” sahut ku. Kala itu hujan masih lumayan deras. Hutan dengan
pohon yang rapat. Kemiringan sekitar 700-800. Sangat
tidak layak dijadikan tempat camp. Namun apa boleh buat. Aku sudah lelah. Aku
yakin pula dengan keenam tamanku.
“jam brapa ini?”
gembel bertanya sapaan akrab widiasti. Bibirnya bergetar menahan dingin.
“gak tau, hp
pada mati.” Yusran yang sering kami panggil beko bersuara. Tangannya mulai
putih dan keriput.
“ya udah kita
tidur disini aja, tendanya gak usah dibikin di selimutin aja.” Ade atau bekok
mulai comment.
Memang tidak
mungkin mendirikan tenda di tempat seperti ini, maka kami hanya masuk tenda
tanpa didirikan dengan tubuh basah dan sangat menggigil. Berharap ada keajaiban
walau hampir mustahil. Endra, iyen dan feggy yang grup Lampung dan adik kelasku
hanya diam tanpa banyak comment. Pasti mereka sangat lelah.
Aku mulai memejamkan mata. Tidak
lelap tapi cukup membuatku bermimpi. Mimpi atau bayangan aku sudah lupa. aku
membayangkan ada dirumah dengan segala kehangatan. Makanan yang hangat. Kamarku
yang hangat. Keluarga yang hangat. Bahkan jika aku keluar aku akan bertemu
dengan teman yang selalu membuatku nyaman dengan kehangatan mereka. Aku
terbangun, gelap dan sangat tidak nyaman. Tenda yang sangat sempit dan kami
tujuh manusia malang didalamnya. Semua saling berbagi suhu tubuh. Semua
menggigil dan hampir semua keram karena posisi kami yang tidak beraturan.
Aku baru menyadari jika kondisi
ini harus dikatakan kondisi darurat. Terhanya kebodohanlah yang menyeret kami
dalam keadaan ini. Jauh terbalik dengan proses keberangkatan kami yang suka
cita. Berfoto, tertawa dan segala bentuk kebahagiaan. Akupun merasa bersalah
mengajak grup lampung ini. Mereka masih sangat minim pengalaman dalam pendakian
namun harus bernasib malang bersamaku.
Aku
menerawang jauh kebelakang mengapa hal ini bisa terjadi........bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar