Aku masuk angkot yang sudah sesak, aku memang
sengaja menunggu angkot itu penuh terlebih dahulu. Jam di tanganku menunjukan
jam 10 malam, sudah beberapa jam aku dijalanan dan kedepanya akan sama, melihat
keadaan sekitar sambil berbincang dengan sahabat setia, fikiranku. Aku masuk
setelah wanita cantik itu masuk, ternyata ia mengambil duduk dekat pintu,
padahal aku ingin berada disana dengan sengaja masuk paling terakhir. Karena
tidak mungkin aku menunggu angkot yang lain, terpaksa aku duduk kedua dari belakang.
Sebelah kiriku tepat paling pojok terlihat bapak yang biasa saja sedang
mengantuk, mungkin ia lelah pulang berkerja atau apa. Sebelah kananku bapak
tegap berkaos putih kepalanya ditutupi topi, wajahnya penuh dengan bulu halus,
usianya kisaran 40-50th, di tangan kirinya melingkar gelang rantai perak dan di
jari tengah tangan yang sama ia memakai cincin batu ali berwarna hijau tua yang
besar memanjang. Mungkin ada jinnya iseng fikiranku. Sebelah bapak gagah ini
seorang lelaki yang tak bisa kulihat jelas. Sebelah lelaki tak jelas ada
seorang yang aku bingung menyebutnya apa. Sebelumnya ia satu bus denganku. Ia
berpenampilan seorang wanita, namun aku tahu sebenarnya ia seorang pria, dengan
tidak enak aku harus menyebutnya banci.
Tepat didepanku ada
seorang pria dengan wajah begitu lelah. Aku mengerti mengapa ia begitu lelah,
karena ia selalu menggendong wanita yang berada disebelah kirinya. Wanita itu
berada tepat dipojok dan sedang lelap dibahu pria wajah lelah. Aku tak mengerti
ada apa dengan mereka, siapa meraka dan akan kemana mereka. Yang aku tahu
sebelum naik angkot ini aku melihat pasangan ini dari kejauhan dengan pria yang
sekarang didepanku penuh keringat tanpa keluh membopong wanitanya. Awalnya aku
mengira wanita ini lelah melangkah, namun aku lebih jauh aku memandang
nampaknya ia lumpuh. Entah mengapa ia lumpuh, aku tak tahu dan sepertinya tidak
akan pernah tau. Aku mencoba memikirkan apa hubungan mereka, semula aku mengira
ini bapak dengan anak perempuannya namun dengan memperhatikan raut kedua wajahnya
aku yakin mereka sepasang suami istri. Umur mereka kisaran 30than. Yang aku
kagum tentang cinta mereka. Apakah ini yang dimakan cinta. Tanpa mempedulikan
lelah ataupun malu akan celaan orang oleh keadaan fisik pasangannya sang bapak
terus melangkah, membawa sang pujaan hati yang menenangkan jiwanya. Ah inikah
cinta kalangan bawah. Mereka harus susah dari semua keadaan, mulai dari ekonomi
hingga masalah paling kecil nampaknya mereka bermasalah. Namun raut wajah sang
bapak seakan berkata padaku “kami tidak bermasalah, kami memiliki cinta”. Duhai
beruntungnya wanita itu dapat memiliki pria tegar layaknya bapak ini.
Disebelah kanan pria
tegar duduk pria muda dengan kacamata, matanya tertutup. Telinganya disumbat
handsfree. Tangan sebelah kiri jam sport. Tangan kanan memegang kantong plastik
berwarna putih. Aku meraba dengan fikiran apa yang ada disana, nampaknya buku,
karena mereka berbentu kotak. Atau apapun yang berbentuk kotak itu bukan
urusanku. Disebelah kirinya duduk wanita cantik yang mengambil tempat dudukku,
yah dia memang cantik jika dibandingkan semua penumpang atau karena ini malam
hari, entahlah. Ia berambut panjang lurus dengan make-up masih menempel di
wajahnya. Ia memakai rompi levis dan seperti kaos yang ketiaknya kelihatan –aku
tak tahu harus menyebutnya apa-, celana jins ketat, tas kulit dipangkuannya,
kantong plastik agak besar dengan corak ia biarkan didepan kakinya. Tebakanku
ia baru pulang bekerja, setelah aku fikir ini hari minggu, dengan setelan
tampak modis itu mungkin ia pulang berlibur atau dari tempat kerabatnya, ya
apapun itu. Di depan bagian aku tidak peduli. Hanya ada tiga orang, supir dan
penumpangnya.
Sesaat sebelum angkot melesat datang seorang
dengan jalan mengangkang, bertopi, tidak begitu jelas. Ia duduk di pintu tanpa
bangku. Tak sengaja aku melihat pemandangan menarik, wanita cantik mengambil
uang entah berapa dari tas kulitnya lalu ia memberikan kepada pria tidak jelas
yang duduk disebelahnya, yang duduk tanpa bangku. Ingin ku beri tahu bahwa pria
itu bukan kenek namun terlambat. Seketika pria aneh itu bingung dan berkata
“buat apah?”. Dengan nada yang tidak
jelas, aku melihat pria aneh itu, wajahnya sedikit menyeramkan atau
menyeramkan. Bajunya kotor, celana merah selututnya nampak kebesaran dan kotor
pula. Wanita cantik berbisik lembut dekat telinga pria aneh.
“buat bapak”
“apah?” dengan suara yang tidak jelas dan –maaf- mulut yang menganga,
air liur yang mengalir, dan tangan melekuk-lekuk.
“buat makan” lirih wanita cantik
Aku mulai menangkap apa maksud wanita itu, ia ingin berinfak kepada
sang pria aneh yang menurut pemandanganku nampaknya ia autis. “boleh juga
niatnya” gumamku dalam hati.
“jdcnmcnnhwbanmknjbndamcknuuu” pria itu ngoceh dengan nada keras dan
tidak jelas kepada sang wanita.
Aku merasa ada yang tidak beres, pemandangan ini sangat mengganggu
malam ku. Nampaknya sang pria itu tersinggung karena diberi infak layaknya
pengemis oleh wanita itu. Mungkin dari pakaiannya yang lusuh dan kotor itu dia
pulang bekerja keras hari ini, terang saja kalo ia marah dianggap pengemis
fikirku.
“dari mana?” aku sedikit seksama mendengarkan, ingin lebih tahu apa
yang sebenarnya terjadi.
“jakarta” ucap wanita. Sudah ku duga pasti ia orang kota yang berada,
beda dengan kami semua.
“kalo dijakata kawin berapa”
“....” wanita itu diam
“kalo dijakarta kawin berapa?” pria itu semakin bernada keras. Aku
mengangkap sang pria mau membalas penghinaan yang telah diterimanya. Mungkin
maksud pria itu dia dapat membeli wanita itu, jadi tidak perlu di beri infak.
“sepuluh juta” kata wanita, mungkin ia menganggap pria autis ini
bercanda. Tapi sebenarnya tidak.
“sepuluh ribu gak bisa” sambil menyongsongkan uang yang diberi
kepadanya ke arah wanita tadi. Dengan nada keras.
“enggak” dengan nada sedikit parau. Mungkin ia mulai mengerti apa maksud
pria aneh itu.
Selanjutnya pria itu mengoceh tidak jelas dan wanita hanya diam. Wanita
itu raut mukanya berubah. Pastilah perasaannya campur aduk, apalagi ia seorang
wanita. Ia mengambil gadjet dari dalam tas dan menelpon entah siapa. Pastilah
ia meminta tolong dengan orang disebrang telepon untuk menjempunya. Karena
suasana sudah tidak mengenakan. Pria aneh terus menyerang sang wanita dengan
kata aneh pula.
“udah kamu terima aja, itu buat kamu!” suara tegas itu berasal dari
sebelahku, pria tegap. Mungkin ia merasa terganggu pula dengan keadaan ini.
Makanya ia sedikit ambil peran untuk menenangkan suasana.
“makasih mbak” kata pria aneh itu setelah di bentak pria tegap. Barulah
mulai ia diam.
Ku kira sudah akan berakhir, ternyata tidak. Pria itu mengganti senjata
mulutnya dengan mata. Ia terus memandangi wanita itu dengan segala macam makna
tatapan. Hinaan, kemarahan, kebencian dan pelecehan. Wajahnya sungguh tidak
mengenakkan. Aku yang tidak terlibat saja merasa risih apalagi sang wanita.
Bukannya aku tidak mau menenangkan suasana, namun aku sedang mempelajari
situasi dan membiarkanya terjadi agar aku bisa tuliskan sebagai karya layaknya
yang sedang anda baca.
Akhirnya wanita itu
turun dari angkot namun sebelumnya ia menanyakan taksi pada supir. Tidak ada taksi
dijalan, perjalanan masih jauh, akhirnya ia memilih turun di sebuah mini market
daripada harus berlama-lama menahan tangis –mungkin-. Wanita itu digantikan ibu
yang membawa dua kantong plastik besar, terawanganku ia habis belanja, dan isi
kantong itu pakaian. Untuk memecah
suasana yang terlajur kacau sang pria tegap mengajak berbincang ibu. Obrolan
standart, dari mana, ini apa, mau dijual dmana, rumahnya dimana, anaknya barapa
dan bla.bla.bla lainnya.
Yang menarik
perhatianku lagi adalah ketika pria aneh itu ikut berbicara. Ia benar-benar
dianggap remeh oleh yang lainnya. Omonganya tidak di tanggapi walau ia sudah
beberapakali angkat bicara dengan susah payah. Ada sesuatu dalam benakku, pria
aneh ini berusaha mengobrol se”biasa” mungkin untuk menetralkan suasana yang
tadi telah dibuat kacau olehnya. Namun dengan kondisi fisik dan mentalnya ia
tetap saja dipinggirkan.
Ah semakin aneh saja
dunia ini. Pria aneh itu teteap manusia dan harus dimanusiakan. Wanita cantik
itu berniat baik namun itu menjadi kesalahan. Cinta pasangan didepanku
terlupakan. Belum lagi kisah para penumpang lain yang belum ku terka. Dan kisah
diriku sendiri yang digoda para homo di rumah makan. Semua makin kusut dalam
angkot berkecepatan tinggi malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar