Selasa, 16 Juni 2015

Aku sudah biasa

Aku sudah biasa
Pergi ke kantor tiap pagi
Sarapan disajikan kekasih hati
Memacu kendaraan agar tidak telat
Aku sudah biasa
Tegur sapa dengan teman kantor
Mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin
Dan meneripa upah di akhir bulan
Aku sudah biasa
Pulang kerja aku beristirahat
Lalu melanjutkan hari-hari begitu dan begitu
Aku sudah biasa
Setelah semua jelas biasa maka aku terpana
Aku hanya orang biasa

Selasa, 09 Juni 2015

COBA LAGI



                Ya coba lagi untuk menyusun semangat-semangat yang pernah ada. Semangat yang pernah mulai dan bercita-cita menjadi blogger hebat atau bahkan penulis bestseller. Namun saat ini mungkin lebih kepada “tulis saja” dan hasilnya akan mengikuti. Yang pasti mencoba tiap tulisan berubaha mejadi lebih baik dan bertanggung jawab. Rasanya terlampau bermimpipun akan menghambat sesuatu yang sederhana nan bermakna.
                Ternyata blog ini sudah ditinggalkan cukup lama. Tahun lalu hanya terdapat satu tulisan. Dan tahun ini pertengahan bulan ini baru dimulai. Telat memang, namun selangkah didepan dari yang tidak pernah bangkit kembali. Jika tidak di cambuk oleh salah seorang kawanpun mungkin blog ini akan mati untuk waktu yang tak ditentukan. Dialah Ade Irwan saputra sang penganten baru yang merequest lanjutan kisah tentang “Malabar”. Aku katakan bahwa lanjutannya sudah dibukukan. EPISODE, buku indie yang diterbitkan nulisbuku.com tahun lalu, sehingga membuat saya bermalasan mengurus blog ini.
                Review kegitan sebenarnya saya tak berhenti menulis, saya masih menulis apa saja yang bisa saya tulis, namun ujungnya berakhir di folder komputer. Saya juga sedang menulis buku yang sedari tahun kemarin tak kunjung rampung. Kemungkinan sudah 80% bisa kurang. Buku ini fiksi tentang gunung dan ada beberapa yang saya ambil dari pengalaman pribadi. Tokoh utamanya Rafa. Selanjutnya tunggu saja prosesnya haha...
                Masih review kegiatan. Sedari tahun lalu aku juga mulai sibuk. Berusaha merubah nasib dengan pindah tempat kerja lumayan menyita waktu setahun kebelakang . dari awal tahun mengurus persiapan resign, setelah diterima di perusahaan baru harus mengikuti beberapa diklat untuk mendapatkan licence. Tak hanya menulis, naik gunungpun menjadi sangat tertunda. Yah karena tidak punya cuti dan jadwal kerja baru yang belum stabil mengakibatkan tertundanya wacana naik gunung. Ya ada masanya aku hanya menjadi penonton.
                Banyak sudah kisah terlewati dari tahun lalu, merangkumnya menjadi tulisan tak juga mudah. Tulisan inipun terdengar seperti “curhat”, namun aku setuju dengan ernest writting theory EWT, tulis saja yang ada diotak. Lakukan. Kekacauan dinegeri inipun banyak berlalu lalang, pergantian penguasa tak lantas membuat sejahtera rakyatnya, nada-nada pesimis lebih sering terdengar. Apa hanya aku yang merasa tak punya pemimpin?
                Di gunung yang sudah jarang aku singgahipun terdengar banyak berita duka. Dari rusaknya alam hingga korban nyawapun silih berdatangan. Naik gunung menjadi hal yang lumrah sekarang. Tak perlu ikut pendidikan layaknya MAPALA, asal punya uang dan kamera bagus buat selfie sudah cukup. Di IG bertebaran foto pemandangan yang aduhai memanjakan mata, mendorong semua orang ingin kesana. Event-event pendakian atau trip bersama semakin banyak, cukup uang, berangkatlah kita. Namun yang sangat disayangkan adalah ketiadaannya tingkat pendidikan untuk “arif” bersama alam. Abah Yat Lassie bilang pecinta alam itu yang lahir dari proses pendidikan. Tapi sekarang banyak yang menamakan pecinta alam namun jauh dari pendidikan. Ya itu tadi, mungkin hanya senang-senang. Sehingga ada penyimpangan-penyimpangan dalam berprilaku terhadap alam. Hal ringan seperti sampah hingga hal yang yang penting seperti safety sering dikesampingkan. Jadi harus seperti apa? Saya rasa pembaca bukan lagi anak ingusan yang tak peka terhadap sindiran-sindiran.
                Pada akhirnya semoga apa yang ditulis ini dan kedepannya bisa bermanfaat untuk kita semua. Sudah dulu, sudah adzan dzuhur, mau makan. Adzan bukan nyuruh makan tapi aku mau makan dulu biar shalatnya tenang.

Minggu, 07 Juni 2015

MALABAR -Bag.3-



Endra jatuh, untuk ia bisa ditahan oleh bekok yang ada dibawah namun caryl gembel yang di bawa endra tidak terselamatkan, ia menggelinding, terlempar dan membentur batu-batu tebing berkali-kali hingga akhirnya ia menyangkut di pohon besar tumbang yang membentang. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika caryl itu adalah manusia. Aku berteriak agar semua tetap di tempat, lalu aku kebawah untuk menghindari kejadian serupa dengan orentasi medan. Iyen, feggy, endra aku lalui, terakhir aku berpapasan dengan bekok. Aku tersenyum padanya, “kok, urang menta hampura nyak ka maneh bisi loba salah.” (kok, gua minta maaf ya ke lu kalo banyak salah) entah mengapa kata-kata itu mendadak aku lontarkan. Iapun kaget, dan menanyakan mengapa aku berkata seperti itu. Tapi aku tidak punya jawaban pasti hingga terus berlalu. Aku masih tenang dan bayanganku hal ini bisa teratasi dan besok kami akan pulang.
                Akhirnya kami sampai di bawah tebing tengah maghrib. Kami mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam. Jangan bayangkan kami membuat camp di tempat yang nyaman dan rata. Kami mendirikan tenda di jalur air yang lembab. Ah pokoknya tempat itu sangat jauh dari standart. Namun apa boleh buat. Caryl kami taruh luar dan kami semua tidur di tenda.
                Malam yang dingin dilembahan entah apa namanya. Malam perlahan menelan segala yang gelap. Kabut turut menyelimuti para pendaki amatir ini. Aku masih berfikir semua akan baik-baik saja. Tinggal tahan dinginnya malam ini lalu esok bisa pulang ke rumah yang hangat. pagi datang agak telat rupanya. Mungkin karena sinar mentari yang tidak dapat menembus lembahan ini. Namun semakin jelas kami berada dmana. Tebing yang kami turuni terlihat menyeramkan. Mungkin kemarin kabut membantu nyali kami dengan menutupi kegagahan tebing ini. Kami bagi-bagi tugas. Ada yang membereskan peralatan dan ada yang masak. Menu pagi ini tidak asing bagi perut kami. Mie instant langsung dimasak 5 bungkus. Menyisakan satu bungkus dalam caryl. Airpun tinggal ambil di sungai yang tidak begitu jauh. Kami berfikir akan pulang sore ini jadi tidak perlu berat-berat membawa makana dan minuman ke bawah. Jadilah pesta kami pagi ini. Toh tidak masalah, nanti di bawah dengan mudah kami dapat membeli nasi bungkus yang sangat nikmat.
                Singkat cerita kami telah siap melanjutkan perjalanan. Kali ini aku di depan memimpin jalan diikuti siapa dibelakangnya aku lupa. mulailah kami menyusuri sungai. Air yang sangat jernih dan sejuk membawa kedamaian dalam perjalan kami untuk beberapa saat. Belum genap kami melangkah 500m dari tempat camp aku menginstruksikan pada semua untuk berhenti. Aku tercengang. Air Terjun!
                Apakah ini air terjun yang kami lihat diteropong kemarin? Perkiraan ku bukan. Langkah kami terpaksa dihentikan air terjun yang gagah ini. Airnya lumayan deras, mungkin tingginya sekitar 15-20m. Dibawahnya membentuk kolam lumayan besar. Aku sempat berfikir untuk melompat saja seperti film-film. Namun kali ini aku sedikit waras. Bagai mana jika ternyata kolam itu tidak dalam? Bisa patah kaki nanti atau nyawapun bisa menjadi taruhannya. Dekat kolam ada pohon besar tumbang, terus aku telusuri sungai itu menggunakan mata. Aku masih bersikeras ada jalan. Pasti ada jalan. Aku menyuruh teman-teman menunggu di bibir air terjun ini, aku akan mencoba memutar melewati lembahan disamping kiri air terjun ini untuk mencari jalan. Akhirnya aku masuk ke hutan yang penuh duri. Menyebalkan. Aku terus mencari jalan namun yang kutemukan jurang lagi, lagi dan lagi. Hujan mulai turun. Semakin menyebalkan saja gerutuku. Sekitar 1 jam aku mencari jalan untuk memutar namun tidak berhasil. Aku memutuskan untuk kembali pada kawan yang sedang menunggu. Mereka sedang berteduh di bawah ponco, masih terdengar tawa kecil mereka. Ya setidaknya tawa itu bisa sedikit menenangkanku sejenak. Aku beri tahu keadaan yang sebenarnya terjadi. Tidak ada jalan memutar dan kita terjebak!
                Ada yang mengusulkan kembali melewati tebing kemarin namun aku menolak. Rasanya tidak mungkin memanjat tebing dengan tanpa alat. Waktu tempunyapun bisa satu harian maka akan semakin telat kami pulang. Belum lagi harus melewati jembatan “sirotolmustakim’’ yang belum tentu tidak diselimuti kabut, itu jika kami mengambil jalan ke kiri jika setelah tebing. Jika ke kanan kami masih gelap akan sampai dimana ujungnya dan bagaimana jalurnyapun belum tentu lebih baik dari “sirotolmustakim” dan air terjun ini. Kami duduk sejenak. Ada yang salah fikirku. Ya kesalahan kami adalah melewati “sirotolmustakim” tanpa memperhitungkan cara kembali dan jika kabut menyelimuti. Yang kedua adalah memutuskan turun tebing untung menyusuri sungai yang tidak pasti pula dan jika berfikir sehat kala itu kami berada di ketinggian 2000mdpl, apakah wajar menyusuri  sungai pada ketinggian segitu. Kini aku mulai paham antara “berani” dan ‘’nekat”. “berani itu melakukan tindakan menggunakan perhitungan dan ilmu sedangkan nekat kebalikannya”. Ya berarti selama ini hanya ego anak muda kami yang bermain. Nekat. Anak muda yang nekat. Namun bukan saatnya menyalahi keadaan dan mencari siapa yang salah. Yang terpenting saat ini adalah siapa yang bisa menjadi solusi dan menyelesaikan masalah.
Aku mengusulkan untuk menaiki punggungan yang aku temukan saat mencari jalan tadi. Dengan sedikit perhitungan dan debat kecil akhirnya kami memutuskan untuk menyusuri punggungan. Berharap menemukan jalur pendakian diatasnya. Sesaat sebelum meninggalkan air terjun ini aku beri nama. “curug ieu dingaranan curug ulum nyak. Pedah pan kudu na arurang ulum ayeuna.” (air terjun ini gua kasih nama air terjun ulum ya. Kan harusnya kita ulum/ulangan umum hari ini) kawan-kawanku hanya tertawa kecil menandakan setuju. Ya senyum menenangkan lagi sebelum misteri menanti didepan.
Akirnya kaki kami di setting untuk mendaki bukan turun. Dengan anggapan akan bisa melihat jalan diatas. Setidaknya dari atas kami dapat melihat ke”bawah” dan “keangkuhan” manusia (kami). Hujan semakin deras. Matahari tidak menandakan kemunculannya. Entah sudah berapa lam kami berjalan. Entah telah diketinggian berapa kami berada. Yang aku faham kami mulai lelah, dehidrasi, dan kelaparan serta kedinginan tentunya.

          ----------------------------------------------------------------------------------------------------

                Malam itu aku keluar tenda, aku tidak tahan dengan ketidaknyamanan didalamnya. Orang-orang yang menggigil, tempat yang lembab, udara yang pengap. Ah sulit digambarkan. Ternyata diluar tenda sangat dingin menusuk. Tulangpun tembus. Ngilu sekali rasanya.
                Mataku terbuka tanpa perintah. Mungkin karena paksaan ketidaknyamanan alam. Sekali lagi aku keluar tenda. Dinginnya belum berontak menjadi hangat. langitpun belum terang. Dihutan yang sangat rapat aku berharap ada cahaya matahari yang mambpu menyelinap dari hadangan pohon yang kuat. Mungkin sekarang sudah subuh. Aku harus shalat. Dari kemarin kami shalat dengan niat. Karena kondisi akupun hanya shalat dengan memejamkan mata lalu membayangkan gerakan shalat serta melafazkan bacaannya. Entahlah, mungkin ini cara yang salah.
                Setelah selesai aku membangunkan kawan-kawan untuk shalat dan bergegas packing. Entah ini jam berapa. Ketidaknyamanan lumayan memberikan kami tenaga. Selagi kawan-kawan bersiap aku memikirkan kemalangan apa lagi yang akan kami terima. Mungkin ini masih setengah jalan atau jauh dari kata pulang. Ini hari kedua kami tersesat. Hari ke empat berada dipegunungan malabar. Harusnya kami sudah pulang dua hari yang lalu. Entah apa yang dilakukan orang-orang kami di bawah sana. Sibukkah melakukan pencarian bagi kami atau mereka bersyukur atas “hilangnya” kami.
                Aku menata diri dan bertekat membawa kawan-kawanku keluar dari sini. Setelah siap kami berangkat. Aku kembali didepan. Sesekali bergantian dengan bkoq dan beko. Entah berapa lama lagi kami harus mengayunkan matakaki. Setelah beberapa lama kami melihat dataran paling tinggi. Mungkin itu puncak fikirku. Datanglah sedikit asa pada diri kami.
                Sampailah kami di tempat tertinggi. Kami masih belum tau dimana kami dan jam berapa ini. Kami beristirahat. Entah apa yang dilakukan kawan-kawan dan apa yang mereka fikirkan. Adakah rasa penyesalan yang teramat dalam karena harus terjebak bersamaku. Biarkan saja, aku terlalu sibuk dengan fikiranku yang ikut tersesat. Aku haus, maka aku berdiri dan mencari lumut untuk minum. Dari “curug Ulum” kami sudah tidak membawa air. Lagi-lagi kesalahannya adalah kami membuang hampir membuang semua botol di bawah tebing. 
-------------------------------------------------------------------
BERSUMBANG......

Rabu, 01 Januari 2014

Ketinggian jawa


Hari ini adalah pertemuan terkahir kami. Hanya untuk canda gurau dan saling menayakan kesiapan dan kelengkapan. Terakhir, karena besok adalah hari-H kami berangkat “mudik” ke malang. Sebenarnya persiapan sudah kami lakukan semenjak tiga bulan lalu. Mulai dari pembentukan tim, pembagian tugas dan tanggung jawab, persiapan fisik serta pendana’an tentunya.
Jadwal acara sudah fiks, aku yang membuat lalu share ke tim untuk didiskusikan dan lakukan perubahan jika ada yang kurang pas. Ya sebagai ketua tim aku harus demokratis dan ditaktor jika keadaan diperlukan. Urusan transportasi sudah ok. Acun yang mengurusnya. Peralatan sudah dihandle oleh “Pmen” Pirmansyah, Erik R.A., dan shadam. Sedangkan logistik bagian Dimas T.W., Nurnovianti, dan “Abank” Tri P.S. semua sudah clear, tinggal belanja logistik yang memang direncanakan belanja di pasar Tumpang, Malang.
Malam ini aku bermalam di rumah Acun, aku baru sampai dari bogor tadi siang. Besok kami janjian di basecamp STAMPARA sebagai meeting poin jam sembilan pagi. Kami mengambil kereta Bandung-Malang jam tiga sore jadi kami ada spare waktu untuk melakukan packing dan pengecekan akhir. Di kamar acun sudah ada dua caryl dan tenda dome yang akan menemani kami seminggu kedepan. Kami melahap nasi goreng yang tadi beli di jalan. Sambil menonton tv nasi itupun ludes dari tempatnya. Tak terasa ini sudah berganti hari. Hari ini jam sembilan kami akan berkukmpul. Jam tiga akan take off. Namun acun masih sibuk dengan marlboronya, aku pun membakar sampoerna mild menyaingi asap di kamar. Kami berbincang beberapa lama, tentang perjalanan kami dan diselingi membahas soal wanita.
Jam lima kami sudah bangun setelah kantuk datang menyerang sekitar jam satu malam. Shalat subuh lalu tidur lagi. Tak ada yang istimewa pagi ini. Terlebih dinginnya bandung menantang selimut untuk di pakai lagi.
Jam delapan kami memaksakan bangun walau selimut tebal dan kasur empuk masih sangat bersahabat. Ingin rasanya membawa selimut ini untuk menemani perjalanan kami. Dengan berat hati aku dan acun mandi setelah setengah jam saling menatap dan menunjuk untuk segera memulai kegiatan. Akhirnya kami mandi ditempat yang terpisah. Aku dikamar mandi atas dan acun di kamar mandi bawah. Ya setidaknya aku bisa mengencinginya haha.
Setelah mandi kami sarapan dengan ayam goreng yang sudah disiapkan bibi acun. Karena ini H+2 idul fitri maka rumah acun begitu sepi.
“keluarga urang keur mudik ka Amrika tjum, kamari ge urang ngirimkeun duit samiliyar keur aki urang” itulah sabda acun pada tjumy dengan muka “porenges”nya.
Lepas makan kami siap-siap berangkat, sudah jam sembilan lewat dan kami masih dirumah acun. Sangat Indonesia. Mungkin ini satu-satunya budaya bangsa yang bisa kami lestarikan. Di WhatsApp tim sudah mulai “riweuh” saling menanyakan. Akhirnya kami meluncur menggunakan Pario125 acun. Satu caryl di depan lainnya aku gendong. Di jalan kami mampir ke minimart sebut saja indomart (bukan nama sesungguhnya) untuk belanja logistik pribadi.  Akhirnya jam sepuluh kurang kami sudah sampai di meeting poin dan kamilah yang pertama tiba. Indonesia banget.
            Yang ketiga datanglah nur tak lama dimas muncul dibelakangnya, cocok. Kami mulai sibuk packing. Selang beberapa lam shadam dan erik datang. Namun erik pergi lagi karena hendak membayar cicilan motor. Dari itu pmen datang dengan wajah cengar-cengir karena hampir satu setengah jam telat. Ia langsung pura-pura sibuk dengan menayakan ini itu agar terhindar dari omelan kami.
‘’mana abank?”
“can datang, keur ngurus ktp heula ceunah”
“asik aya nu leuwih telat tipada urang”
“geus biasa abank ma, ngan aya dua cara menghadapinya”
“naon?’’
“nu kahaji sabar”
“nu kadua?”
“sabar banget”
‘’Bwahahhahahahhah’’ tawa kami pecah di meeting poin.
            Shadam dan menur izin sebentar untuk membeli raincoat. Walau belum masuk musim penghujan tapi persiapan tetap diperlukan. Mereka berangkat menggunakan motor acun. Tak lama mereka kembali. Begitupula dengan erik. Namun abank tak kunjung datang. Semua mulai sibuk membagi barang bawaan. Semakin riuh basecamp dengan candaan kami.
            Sudah adzan dzuhur, kami bergegas shalat, abank belum juga datang. Kami shalat di masjid yang tak jauh dari basecamp, pmen masih sibuk packing, menur masih manyun sambil menjaga barang-barang kami. Terlihat cantik, apalagi dimata dimas. Selesai shalat ternyata abank sudah datang. Dengan wajah polos “pitenggeuleun” ia minta maaf. Dan ia selalu berhasil, bagaimana tidak jika ia telat pasti ia membawa makanan enak dan banyak. Tak kuasalah kami mau memaki-makinya. Akhirnya permintaan maaf abank diterima seiringnya lontongnya masuk ke perut kami semua.
‘’KTP urang can jadi euy, kumaha nyak?”
“heug sia bank moal bisa milu, da naek kareta na kudu nunjukeun KTP”
Acun sebagai sie.transport lebih paham dan mulai menakuti abank. Kami tidak mau kalah.
“kumaha deui atuh bank, next time ue maneh mangkatna”
“dahareun maneh kaurangkeun ue bank, maneh teu milu pan”
“sabar bank, taun hareup aya deui”
“kamu gimana sih bank!” nah kalo yang ketus ini pastilah menur.
“Anjis, kumaha atuh euy, engke ue jam dua urang balik deui, sugan geus jadi”
Abank mulai panik.
“moal kaburu bank, jam dua arurang geus kudu mangkat ka stasion”
Muka abank semakin kecewa.
“bwahahhahaha” tawa kami pecah lagi.
“beungeut maneh bank”
“kalem bank, kita akan tetap berangkat berdelapan apapun yang terjadi” coba tebak siapa yang sok cool dengan kata-kata itu?

Setelah semua beres acun bergegas mencari angkot carteran. Tak berapa lama ia kembali membawa angkot. Satu persatu caryl kami masukan kedalam angkot. Lalu orangnya masuk kedalam angkot. Jam setengah tiga kami tiba di stasiun. Mengeluarkan manusia dan caryl dari angkot, membayar angkot, tuntas sudah urusan kami dengan perangkotan. Sebelum masuk ke stasiun kami membuat lingkaran, berdoa.
            Tibalah saat yang menegangkan untuk abank. Pemeriksaan tiket. Ternyata ia lolos tanpa ada halangan. Itu karena pertolongan foto copy lusuh yang masih terselip di dompetnya. Malah erik yang tidak di izinkan masuk. Di tiket tertulis nama “eric” sedangkan KTP bernama “erik”. Jadilah ia tertahan beberapa lama untuk pengecekan lebih lanjut. Sekitar 10-15 menit ia baru di izinkan masuk. Yang tegang abank yang ditahan erik. Kami hanya bisa tertawa tanda bingung dan bersyukurnya abank. Mungkin ini karma erik yang tadi ikut meledek abank di basecamp.
            Setelah semua masuk kami menunggu kereta yang akan tiba di jalur 4. Setelah kereta tiba kami kembali mengangkat caryl menuju kereta.
“Ini gerbong kitakan?”
“iah gerbong 1”
“ai urang numana?”
“Meneh ma gerbong 3 men”
“njir ditukang atuh”
Berpisahlah pmen dengan kami. Ia memang telat membeli tiket kereta sehingga tidak bisa bareng dengan yang lain. Padahal kami sudah membawa seperangkat alat gapleh dan poker untuk diperjalanan. Naiklah kami ke gerbong 1 sedangkan pmen meneruskan langkahnya menuju gerbong 3. Begitu masuk kami langsung menjadi pusat perhatian penumpang lainnya. Dengan carryl yang hampir setengah badan, setelan yang acak-acakan, muka pas-pasan kecuali dimas memang patut kami dicurigai. Nyes.... udara AC langsung menyambut kulit kusut kami, bangku 2x2 tersusun rapih dan terlihat empuk, ruangannya pun begitu wangi. Begitu dahsyat perubahan yang dilaksanakan PT.KAI, sudah tidak ada lagi bau ayam fikirku. Teruslah kami masuk mencari nomer bangku yang pas. Sampe akhir gerbong tak ada nomer kami. Apakah ada yang salah fikirku. Erik yang berada paling depan terus melangkah membawa kami kegerbog selanjutnya. Sampai ujung gerbong tak ada pula. lalu kami turun dan menanyakan pada petugas.
            Petugas dengan nama ujang di nametagnya menggiring kami kebelakang. Sudah tiga gerbor terlewati lalu empat dan di gerbong ke tujuh kami dipersilahkan masuk. Naiklah kami seperti domba digiring masuk kandang. Dan ternyata benar saja, bau ayam masih ada walaupun tidak semenyengat terakhir kali aku naik kereta. Kursi 2x2 dikiri dan 3x3 dikanan saling berhadapan. AC-nya kipas reot yang hidup segan mati tak mau. Akhirnya ketemu no bangku kami. Alhamdulillah semua bersamaan, jadi kartu poker dan gapleh tidak akan menganggur. Kami taruh caryl diatas dan di bawah bangku. Mulailah kami berebut bangku paling pojok dekat dengan jendela. Pas buat ngegalau kaya di tipi-tipi.
“cewek paling pojok ah” menur langsung menjajah bangku.
“cie menur maunya deket ama dimas terus” kebetulan mereka bersebelahan di kursi 3x3
“enggak, da aku emang pingin dipojok atuwh”
“cie modus biar bisa bobo senderan” dan terus cie-cien menghujani kuping menur.
“yawdah nie aku pindah” seketika ia manyun dan langsung pindah ke bangku 2x2 dekat abank. Kami yang meledek hanya bisa saling  menatap dan saling menyalahkan. Susah memang berhadapan dengan wanita.
“naon di darieu?” pmen memecah tatapan kami.
”bwahahhaha”
“tadi salah asup, kalahkah asup eksekutip padahal tiketnya ekonomi”
“beuh pantes naha ceuk urang jauh amat beda na”
“heu’euh euy hanas geus adem jeung wangi”
“hhahaha...”
“geus men didiyeu ue heula, urang poker heula”
“mulailah kereta berjalan dengan dikocoknya kartu remi di tangan acun”
Babak baru perjalanan kami dimulai dengan menur masih diam dan cemberut di kursi sebelah.


bersumbang ye....hehe...