Aku sudah biasa
Pergi ke kantor tiap pagi
Sarapan disajikan kekasih hati
Memacu kendaraan agar tidak telat
Aku sudah biasa
Tegur sapa dengan teman kantor
Mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin
Dan meneripa upah di akhir bulan
Aku sudah biasa
Pulang kerja aku beristirahat
Lalu melanjutkan hari-hari begitu dan begitu
Aku sudah biasa
Setelah semua jelas biasa maka aku terpana
Aku hanya orang biasa
Selasa, 16 Juni 2015
Aku sudah biasa
Selasa, 09 Juni 2015
COBA LAGI
Ya
coba lagi untuk menyusun semangat-semangat yang pernah ada. Semangat yang
pernah mulai dan bercita-cita menjadi blogger hebat atau bahkan penulis
bestseller. Namun saat ini mungkin lebih kepada “tulis saja” dan hasilnya akan
mengikuti. Yang pasti mencoba tiap tulisan berubaha mejadi lebih baik dan
bertanggung jawab. Rasanya terlampau bermimpipun akan menghambat sesuatu yang
sederhana nan bermakna.
Ternyata
blog ini sudah ditinggalkan cukup lama. Tahun lalu hanya terdapat satu tulisan.
Dan tahun ini pertengahan bulan ini baru dimulai. Telat memang, namun selangkah
didepan dari yang tidak pernah bangkit kembali. Jika tidak di cambuk oleh salah
seorang kawanpun mungkin blog ini akan mati untuk waktu yang tak ditentukan. Dialah
Ade Irwan saputra sang penganten baru yang merequest lanjutan kisah tentang “Malabar”.
Aku katakan bahwa lanjutannya sudah dibukukan. EPISODE, buku indie yang
diterbitkan nulisbuku.com tahun lalu, sehingga membuat saya bermalasan mengurus
blog ini.
Review
kegitan sebenarnya saya tak berhenti menulis, saya masih menulis apa saja yang bisa
saya tulis, namun ujungnya berakhir di folder komputer. Saya juga sedang
menulis buku yang sedari tahun kemarin tak kunjung rampung. Kemungkinan sudah
80% bisa kurang. Buku ini fiksi tentang gunung dan ada beberapa yang saya ambil
dari pengalaman pribadi. Tokoh utamanya Rafa. Selanjutnya tunggu saja prosesnya
haha...
Masih
review kegiatan. Sedari tahun lalu aku juga mulai sibuk. Berusaha merubah nasib
dengan pindah tempat kerja lumayan menyita waktu setahun kebelakang . dari awal
tahun mengurus persiapan resign, setelah diterima di perusahaan baru harus mengikuti
beberapa diklat untuk mendapatkan licence. Tak hanya menulis, naik gunungpun
menjadi sangat tertunda. Yah karena tidak punya cuti dan jadwal kerja baru yang
belum stabil mengakibatkan tertundanya wacana naik gunung. Ya ada masanya aku
hanya menjadi penonton.
Banyak
sudah kisah terlewati dari tahun lalu, merangkumnya menjadi tulisan tak juga
mudah. Tulisan inipun terdengar seperti “curhat”, namun aku setuju dengan ernest writting theory EWT, tulis saja
yang ada diotak. Lakukan. Kekacauan dinegeri inipun banyak berlalu lalang,
pergantian penguasa tak lantas membuat sejahtera rakyatnya, nada-nada pesimis
lebih sering terdengar. Apa hanya aku yang merasa tak punya pemimpin?
Di
gunung yang sudah jarang aku singgahipun terdengar banyak berita duka. Dari rusaknya
alam hingga korban nyawapun silih berdatangan. Naik gunung menjadi hal yang
lumrah sekarang. Tak perlu ikut pendidikan layaknya MAPALA, asal punya uang dan
kamera bagus buat selfie sudah cukup. Di IG bertebaran foto pemandangan yang
aduhai memanjakan mata, mendorong semua orang ingin kesana. Event-event
pendakian atau trip bersama semakin banyak, cukup uang, berangkatlah kita. Namun
yang sangat disayangkan adalah ketiadaannya tingkat pendidikan untuk “arif”
bersama alam. Abah Yat Lassie bilang pecinta alam itu yang lahir dari proses
pendidikan. Tapi sekarang banyak yang menamakan pecinta alam namun jauh dari
pendidikan. Ya itu tadi, mungkin hanya senang-senang. Sehingga ada penyimpangan-penyimpangan
dalam berprilaku terhadap alam. Hal ringan seperti sampah hingga hal yang yang
penting seperti safety sering
dikesampingkan. Jadi harus seperti apa? Saya rasa pembaca bukan lagi anak
ingusan yang tak peka terhadap sindiran-sindiran.
Pada
akhirnya semoga apa yang ditulis ini dan kedepannya bisa bermanfaat untuk kita
semua. Sudah dulu, sudah adzan dzuhur, mau makan. Adzan bukan nyuruh makan tapi
aku mau makan dulu biar shalatnya tenang.
Minggu, 07 Juni 2015
MALABAR -Bag.3-
Endra jatuh, untuk ia bisa ditahan oleh bekok yang ada
dibawah namun caryl gembel yang di bawa endra tidak terselamatkan, ia
menggelinding, terlempar dan membentur batu-batu tebing berkali-kali hingga
akhirnya ia menyangkut di pohon besar tumbang yang membentang. Tak bisa
dibayangkan bagaimana jika caryl itu adalah manusia. Aku berteriak agar semua
tetap di tempat, lalu aku kebawah untuk menghindari kejadian serupa dengan
orentasi medan. Iyen, feggy, endra aku lalui, terakhir aku berpapasan dengan
bekok. Aku tersenyum padanya, “kok, urang menta hampura nyak ka maneh bisi loba
salah.” (kok, gua minta maaf ya ke lu kalo banyak salah) entah mengapa
kata-kata itu mendadak aku lontarkan. Iapun kaget, dan menanyakan
mengapa aku berkata seperti itu. Tapi aku tidak punya jawaban pasti hingga
terus berlalu. Aku masih tenang dan bayanganku hal ini bisa teratasi dan besok
kami akan pulang.
Akhirnya kami sampai di bawah
tebing tengah maghrib. Kami mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam.
Jangan bayangkan kami membuat camp di tempat yang nyaman dan rata. Kami
mendirikan tenda di jalur air yang lembab. Ah pokoknya tempat itu sangat jauh
dari standart. Namun apa boleh buat. Caryl kami taruh luar dan kami semua tidur
di tenda.
Malam yang dingin dilembahan
entah apa namanya. Malam perlahan menelan segala yang gelap. Kabut turut
menyelimuti para pendaki amatir ini. Aku masih berfikir semua akan baik-baik
saja. Tinggal tahan dinginnya malam ini lalu esok bisa pulang ke rumah yang
hangat. pagi datang agak telat rupanya. Mungkin karena sinar mentari yang tidak
dapat menembus lembahan ini. Namun semakin jelas kami berada dmana. Tebing yang
kami turuni terlihat menyeramkan. Mungkin kemarin kabut membantu nyali kami
dengan menutupi kegagahan tebing ini. Kami bagi-bagi tugas. Ada yang
membereskan peralatan dan ada yang masak. Menu pagi ini tidak asing bagi perut
kami. Mie instant langsung dimasak 5 bungkus. Menyisakan satu bungkus dalam
caryl. Airpun tinggal ambil di sungai yang tidak begitu jauh. Kami berfikir
akan pulang sore ini jadi tidak perlu berat-berat membawa makana dan minuman ke
bawah. Jadilah pesta kami pagi ini. Toh tidak masalah, nanti di bawah dengan
mudah kami dapat membeli nasi bungkus yang sangat nikmat.
Singkat cerita kami telah siap
melanjutkan perjalanan. Kali ini aku di depan memimpin jalan diikuti siapa
dibelakangnya aku lupa. mulailah kami menyusuri sungai. Air yang sangat jernih
dan sejuk membawa kedamaian dalam perjalan kami untuk beberapa saat. Belum
genap kami melangkah 500m dari tempat camp aku menginstruksikan pada semua
untuk berhenti. Aku tercengang. Air Terjun!
Apakah ini air terjun yang kami
lihat diteropong kemarin? Perkiraan ku bukan. Langkah kami terpaksa dihentikan
air terjun yang gagah ini. Airnya lumayan deras, mungkin tingginya sekitar
15-20m. Dibawahnya membentuk kolam lumayan besar. Aku sempat berfikir untuk
melompat saja seperti film-film. Namun kali ini aku sedikit waras. Bagai mana
jika ternyata kolam itu tidak dalam? Bisa patah kaki nanti atau nyawapun bisa
menjadi taruhannya. Dekat kolam ada pohon besar tumbang, terus aku telusuri
sungai itu menggunakan mata. Aku masih bersikeras ada jalan. Pasti ada jalan.
Aku menyuruh teman-teman menunggu di bibir air terjun ini, aku akan mencoba
memutar melewati lembahan disamping kiri air terjun ini untuk mencari jalan.
Akhirnya aku masuk ke hutan yang penuh duri. Menyebalkan. Aku terus mencari jalan
namun yang kutemukan jurang lagi, lagi dan lagi. Hujan mulai turun. Semakin
menyebalkan saja gerutuku. Sekitar 1 jam aku mencari jalan untuk memutar namun
tidak berhasil. Aku memutuskan untuk kembali pada kawan yang sedang menunggu.
Mereka sedang berteduh di bawah ponco, masih terdengar tawa kecil mereka. Ya
setidaknya tawa itu bisa sedikit menenangkanku sejenak. Aku beri tahu keadaan
yang sebenarnya terjadi. Tidak ada jalan memutar dan kita terjebak!
Ada yang mengusulkan kembali
melewati tebing kemarin namun aku menolak. Rasanya tidak mungkin memanjat
tebing dengan tanpa alat. Waktu tempunyapun bisa satu harian maka akan semakin
telat kami pulang. Belum lagi harus melewati jembatan “sirotolmustakim’’ yang
belum tentu tidak diselimuti kabut, itu jika kami mengambil jalan ke kiri jika
setelah tebing. Jika ke kanan kami masih gelap akan sampai dimana ujungnya dan
bagaimana jalurnyapun belum tentu lebih baik dari “sirotolmustakim” dan air
terjun ini. Kami duduk sejenak. Ada yang salah fikirku. Ya kesalahan kami
adalah melewati “sirotolmustakim” tanpa memperhitungkan cara kembali dan jika
kabut menyelimuti. Yang kedua adalah memutuskan turun tebing untung menyusuri
sungai yang tidak pasti pula dan jika berfikir sehat kala itu kami berada di
ketinggian 2000mdpl, apakah wajar menyusuri
sungai pada ketinggian segitu. Kini aku mulai paham antara “berani” dan
‘’nekat”. “berani itu melakukan tindakan menggunakan perhitungan dan ilmu
sedangkan nekat kebalikannya”. Ya berarti selama ini hanya ego anak muda kami
yang bermain. Nekat. Anak muda yang nekat. Namun bukan saatnya menyalahi
keadaan dan mencari siapa yang salah. Yang terpenting saat ini adalah siapa
yang bisa menjadi solusi dan menyelesaikan masalah.
Aku mengusulkan untuk menaiki punggungan yang aku temukan saat mencari
jalan tadi. Dengan sedikit perhitungan dan debat kecil akhirnya kami memutuskan
untuk menyusuri punggungan. Berharap menemukan jalur pendakian diatasnya.
Sesaat sebelum meninggalkan air terjun ini aku beri nama. “curug ieu dingaranan
curug ulum nyak. Pedah pan kudu na arurang ulum ayeuna.” (air terjun ini gua
kasih nama air terjun ulum ya. Kan harusnya kita ulum/ulangan umum hari ini)
kawan-kawanku hanya tertawa kecil menandakan setuju. Ya senyum menenangkan lagi
sebelum misteri menanti didepan.
Akirnya kaki kami di setting untuk mendaki bukan turun. Dengan anggapan
akan bisa melihat jalan diatas. Setidaknya dari atas kami dapat melihat
ke”bawah” dan “keangkuhan” manusia (kami). Hujan semakin deras. Matahari tidak
menandakan kemunculannya. Entah sudah berapa lam kami berjalan. Entah telah
diketinggian berapa kami berada. Yang aku faham kami mulai lelah, dehidrasi,
dan kelaparan serta kedinginan tentunya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam itu aku keluar tenda, aku
tidak tahan dengan ketidaknyamanan didalamnya. Orang-orang yang menggigil,
tempat yang lembab, udara yang pengap. Ah sulit digambarkan. Ternyata diluar
tenda sangat dingin menusuk. Tulangpun tembus. Ngilu sekali rasanya.
Mataku terbuka tanpa perintah.
Mungkin karena paksaan ketidaknyamanan alam. Sekali lagi aku keluar tenda.
Dinginnya belum berontak menjadi hangat. langitpun belum terang. Dihutan yang
sangat rapat aku berharap ada cahaya matahari yang mambpu menyelinap dari
hadangan pohon yang kuat. Mungkin sekarang sudah subuh. Aku harus shalat. Dari
kemarin kami shalat dengan niat. Karena kondisi akupun hanya shalat dengan
memejamkan mata lalu membayangkan gerakan shalat serta melafazkan bacaannya.
Entahlah, mungkin ini cara yang salah.
Setelah selesai aku membangunkan
kawan-kawan untuk shalat dan bergegas packing. Entah ini jam berapa.
Ketidaknyamanan lumayan memberikan kami tenaga. Selagi kawan-kawan bersiap aku
memikirkan kemalangan apa lagi yang akan kami terima. Mungkin ini masih
setengah jalan atau jauh dari kata pulang. Ini hari kedua kami tersesat. Hari
ke empat berada dipegunungan malabar. Harusnya kami sudah pulang dua hari yang
lalu. Entah apa yang dilakukan orang-orang kami di bawah sana. Sibukkah melakukan
pencarian bagi kami atau mereka bersyukur atas “hilangnya” kami.
Aku menata diri dan bertekat
membawa kawan-kawanku keluar dari sini. Setelah siap kami berangkat. Aku
kembali didepan. Sesekali bergantian dengan bkoq dan beko. Entah berapa lama
lagi kami harus mengayunkan matakaki. Setelah beberapa lama kami melihat
dataran paling tinggi. Mungkin itu puncak fikirku. Datanglah sedikit asa pada
diri kami.
Sampailah kami di tempat
tertinggi. Kami masih belum tau dimana kami dan jam berapa ini. Kami beristirahat.
Entah apa yang dilakukan kawan-kawan dan apa yang mereka fikirkan. Adakah rasa
penyesalan yang teramat dalam karena harus terjebak bersamaku. Biarkan saja,
aku terlalu sibuk dengan fikiranku yang ikut tersesat. Aku haus, maka aku
berdiri dan mencari lumut untuk minum. Dari “curug Ulum” kami sudah tidak
membawa air. Lagi-lagi kesalahannya adalah kami membuang hampir membuang semua
botol di bawah tebing.
-------------------------------------------------------------------
BERSUMBANG......
Langganan:
Postingan (Atom)