Minggu, 29 September 2013

"menulis"


Ternyata blog ini sudah lama membangkai tanpa bingkai. Ya sebenarnya menulis bagian dari episode hidup saya, walaupun tak setiap hari menulis tapi saya menyukai tiap karya –anggap saja-  yang saya tulis. Awalnya untuk diri sendiri, lalu saya share ke orang terdekat dan orang yang tepat menggambarkan tulisan saya.
Hingga pada suatu saat ada teman yang menyukai entah terpaksa menyukai tulisan saya memberikan ide untuk membuat blog. Awalnya malas berurusan dengan dunia maya. Akan banyak hal-hal nyata yang akan terlewatkan dalam benak. Hingga akhirnya saya luluh, tidak tega pula terus memaksa orang terdekat untuk membaca “note” yang di”tag” pada mereka.
Akhirnya jadi blog. Baru beberapa postingan sudah males ngurusnya. Ngurus yang nyata saja tak becus. Dan beginilah jadinya, blog terlantar. Namun saya masih terus menulis, namun tanpa “tag” dalam setiap share ‘’note’’. Ada pula tulisan yang tidak di share, konsumsi pribadi dan untuk meluberkan laptop.

Banyak pula impian yang tidak tereleasisasi, mulai dari blog gagal, proyek buku gagal hingga berujung pada buntu inspirasi dalam menulis. Sekarang “saya’’ diganti menjadi “aku” agar terkesan sebagai penulis. Aku ingin menjadi penulis, tapi untuk apa? Karya apa yang harus aku ciptakan? Dan pertanyaan-pertanyaan kecil mulai menghampiri. Anehnya sulit sekali jawabannya.
Setelah aku rasakan ternyata ada yang salah dalam tiap tulisanku. Pertama, Aku selalu ingin menjadi orang lain dalam menciptakan karya. Contohnya ketika membaca novel-novel laris aku langsung mengikuti gaya bahasanya seminggu kemudian aku membaca buku lain maka akan berubah pula gaya bahasaku. Kedua, ingin selalu ada pujian dalam menulis. Entah dari kawan, lawan, orang asing ataupun makhluk asing yang tak sengaja membaca tulisanku. Mungkin itu mengapa alasannya ada “tag” dalam “note”ku. Pujian. Terlebih ketika ingin dipuji sang pujaan hati. Ketiga, materi. Ya aku selalu bermimpi menjadi penulis yang hidupnya santai, menciptakan karya besar dengan tinta dan bergelimang harta. Indah sekali bukan. Namun ternyata bukan.
Dari kesemua itu berarti aku belum bisa “ikhlas” dalam menulis. Yang pada akhirnya berujung buntu dan buntu. Tak lama ini aku membuka blog kawan lama. Ternyata ia suka juga menulis. Baru satu judul yang aku baca tapi aku sudah bisa menangkap keikhlasan dalam tiap aksara yang ia goreskan. Ia menulis tentang “kebahagiaan” cukup sederhana namun bisa menampar keangkuhan diri.

Ya, ternyata menulis itu harus ikhlas hingga akhirnya bahagia. Bahagia dengan menjadi diri sendiri, bahagia tanpa pujian, bahagia tanpa embel-embel materi dan bahagia tanpa syarat apapun. Karena syarat-syarat itulah yang akhirnya menjadi beban diri sendiri. Tak apalah gaya bahasa yang acak-acakan, kalau perlu aku tidak akan bergaya. Cukuplah minimal kepuasan diri bisa merangkai kata, lalu tahap berikutnya menjadikan tiap kata itu bermanfaat dan manfaat itu bisa merubah dunia.
Mari sisihkan tintamu barang setetes untuk kehidupan ini.di samping tulisan ini di samping hati ini.