Ternyata blog
ini sudah lama membangkai tanpa bingkai. Ya sebenarnya menulis bagian dari
episode hidup saya, walaupun tak setiap hari menulis tapi saya menyukai tiap
karya –anggap saja- yang saya tulis.
Awalnya untuk diri sendiri, lalu saya share ke orang terdekat dan orang yang
tepat menggambarkan tulisan saya.
Hingga pada
suatu saat ada teman yang menyukai entah terpaksa menyukai tulisan saya
memberikan ide untuk membuat blog. Awalnya malas berurusan dengan dunia maya.
Akan banyak hal-hal nyata yang akan terlewatkan dalam benak. Hingga akhirnya
saya luluh, tidak tega pula terus memaksa orang terdekat untuk membaca “note”
yang di”tag” pada mereka.
Akhirnya jadi
blog. Baru beberapa postingan sudah males ngurusnya. Ngurus yang nyata saja tak
becus. Dan beginilah jadinya, blog terlantar. Namun saya masih terus menulis,
namun tanpa “tag” dalam setiap share ‘’note’’. Ada pula tulisan yang tidak di
share, konsumsi pribadi dan untuk meluberkan laptop.
Banyak pula
impian yang tidak tereleasisasi, mulai dari blog gagal, proyek buku gagal
hingga berujung pada buntu inspirasi dalam menulis. Sekarang “saya’’ diganti
menjadi “aku” agar terkesan sebagai penulis. Aku ingin menjadi penulis, tapi
untuk apa? Karya apa yang harus aku ciptakan? Dan pertanyaan-pertanyaan kecil mulai
menghampiri. Anehnya sulit sekali jawabannya.
Setelah aku
rasakan ternyata ada yang salah dalam tiap tulisanku. Pertama, Aku selalu ingin
menjadi orang lain dalam menciptakan karya. Contohnya ketika membaca
novel-novel laris aku langsung mengikuti gaya bahasanya seminggu kemudian aku
membaca buku lain maka akan berubah pula gaya bahasaku. Kedua, ingin selalu ada
pujian dalam menulis. Entah dari kawan, lawan, orang asing ataupun makhluk
asing yang tak sengaja membaca tulisanku. Mungkin itu mengapa alasannya ada “tag”
dalam “note”ku. Pujian. Terlebih ketika ingin dipuji sang pujaan hati. Ketiga,
materi. Ya aku selalu bermimpi menjadi penulis yang hidupnya santai,
menciptakan karya besar dengan tinta dan bergelimang harta. Indah sekali bukan.
Namun ternyata bukan.
Dari kesemua
itu berarti aku belum bisa “ikhlas” dalam menulis. Yang pada akhirnya berujung
buntu dan buntu. Tak lama ini aku membuka blog kawan lama. Ternyata ia suka
juga menulis. Baru satu judul yang aku baca tapi aku sudah bisa menangkap
keikhlasan dalam tiap aksara yang ia goreskan. Ia menulis tentang “kebahagiaan”
cukup sederhana namun bisa menampar keangkuhan diri.
Ya, ternyata
menulis itu harus ikhlas hingga akhirnya bahagia. Bahagia dengan menjadi diri
sendiri, bahagia tanpa pujian, bahagia tanpa embel-embel materi dan bahagia
tanpa syarat apapun. Karena syarat-syarat itulah yang akhirnya menjadi beban
diri sendiri. Tak apalah gaya bahasa yang acak-acakan, kalau perlu aku tidak
akan bergaya. Cukuplah minimal kepuasan diri bisa merangkai kata, lalu tahap
berikutnya menjadikan tiap kata itu bermanfaat dan manfaat itu bisa merubah
dunia.
Mari sisihkan tintamu barang setetes untuk kehidupan
ini.di samping tulisan ini di samping hati ini.