Jumat, 11 Oktober 2013

DANAU INI APA NAMANYA?


Sore itu aku di ajak entah kemana. Fauzi Nur Jihad yang lebih sering ku sapa uji adalah penggagasnya. Yang kudengar ia telah berpengalaman, ya setidaknya ia satu tahun lebih dulu bergelut di kegiatan alam luar daripada diriku. Kami janji bertemu di STM yang sekarang menjadi SMKN 1 Cimahi jam lima sore. Dengan peralatan sekedarnya ala anak kost, uang yang tidak terlalu banyak karena waktu itu hari sabtu dimana orang tuaku belum mengirim jatah mingguan aku berangkat. Kami lima orang, saya, Uji, Budi, Andri dan siapa lagi aku benar-benar lupa. Atau memang kami hanya berempat. Orang-orang ini baru aku kenal, kami berkenalan di STAMPARA. Ya aku anggap ini sebagai ajang sosialisasiku dilingkungan yang baru ini, maklum aku anak rantau, walau aku lahir di Bandung namun aku lebih lama tinggal di Tangerang. Walau banyak kerabat yang tinggal di bandung namun aku tetap tinggal kost, karena lokasi STM yang jauh dari tempat kerabat.
Kami berjanji kumpul di taman bambu STM, jika telah memasuki gerbang STM tepat kesebelah kiri itu menuju ruang tata usaha dan ruang kelas normatif adaptif. Kesebelah kanan ada pos satpam dimana hari-hari selanjutnya aku sering numpang nonton TV bersama Acun apalagi ketika serial “Diary’s Angel” tayang, hampir tidak pernah absen saya dengan Acun nongkrong disana. Sebelah pos satapam tempat parkir siswa yang menurut saya tidak terlalu istimewa karena saya jarang kesana, kecuali saya dapet pinjaman motor untuk pelajaran renang atau sekedar beli makan. Beberapa meter lurus dari gerbang disebelah kirinya ada lapang 2 yang sering dipakai kegiatan ekstrakulikuler ataupun membariskan siswa yang datang terlambat upacara sebelum mereka mendapatkan hukuman. Nah, apabila di kiri ada lapang 2 maka di kanan ada taman bambu kuning atau TBK. Di TBK ada 4 bagian wilayah kekuasaan. Taman PASUS, PRAMUKA, PMR, dan PA-STAMPARA semua dibatasi oleh jalan setapak menuju pusat taman yaitu bambu kuning yang rindang. Yah TBK ini sering dijadikan tempat ngadem bercanda ataupun pacaran oleh para siswa.
Teng, jam lima kami sudah siap. Uji dengan caryl birunya yang lumayan besar terlihat gagah, sedang kami bocah ingusan hanya membawa tas sekolah yang berisikan jaket, snack, air, mie instant, “titinyuheun” berupa kopi, susu dan sejenisnya. Kami berpamitan pada rekan-rekan yang tidak ikut, harapanku memang sebanyak mungkin rekan harus ikut, tapi apaboleh buat mungkin mereka terbentur izin orang tua, tidak seperti diriku dan Andri yang anak kost, bebas, yang terpenting uang kost dibayar tepat waktu. Dengan budi aku tidak mengerti, dia tampak aneh sejak pertama kami bertemu. Perawakan kurus tidak terlalu tinggi dan “beungeut” kecina-cinaan serta bersepedah kesekolah cukup membuat anak ini termasuk manusia bermistery yang ada di STM.
Hari sudah gelap katika aku melihat gapura bertuliskan KOMANDO kala itu, aku lupa jam berapa. Yang terbayangkan olehku saat itu adalah tempat ini sering dijadikan tempat berlatih oleh tentara. Boleh juga fikirku ketempat seperti ini. Dari KOMANDO kami berjalan beberapa kilometer untuk sampai tempat camp,ya setidaknya itu yang dikatakan uji. Maka kami manut, mengikuti langkah kaki uji, udara mulai dingin, aku ambil sebatang rokok dan membakarnya untuk menghangatkan diri. Namun merokok sambil berjalan di track yang menanjak sangat tidak enak rasanya. Dadaku sesak, maka kubuang rokok itu. Dasar pendaki ingusan fikirku. Aku bertekat tidak akan merokok lagi karena pastinya tantangan kedepan lebih dahsyat menguras fisik, dan aku tidak bisa melaluinya jika  bermasalah dengan paru-paru. Jaln kampung sudah habis, kini kami berjalan di perkebunan warga. Jika melihat ke atas aku menemukan cahaya di sebuah bangunan, fikirku itu adalah “saung” warga. Aku menyalakan senter, ya aku memang takut kegelapan kala itu, setidaknya aku bisa beralasan menerangi jalan untuk menyembunyikan ketakutanku. Namun yang aku heran uji membawa kami menjauhi sumber cahaya. Suara serangga yang bersautan malam menambah rasa ngeri dihati.
“matiin senternya, jalannya nunduk, jangan sampai keliatan orang ya!”. Kami bingung dengan perintah uji
“emang kenapa kang?” keluar juga kata dari budi padahal kukira ia gagu.
“kalo kita lewat pos itu –menunjuk sumber cahaya- atau ketauan penjaga nanti disuruh bayar”
“Emang brapa brapa bayarnya?”
“3ribu, lumayankan”
Oh ternyata faktor ekonomi ternyata, ya memang 3ribu sangat berharga bagiku dihari sabtu dibandingkan hari senin. Maka kami mengendap-ngendap memasuki kawasan layaknya game “medal of honor”, bersembunyi dan menunduk jika cahaya senter menyinari kami lalu melangkah hati-hati ketika semua telah terkendali.
            Tak berapa lama kami dinyatakan berhasil melewati pos penjagaan dengan selamat oleh uji. Setelah bermain petak umpet kami mencari tanah datar untuk mendirikan tenda. Tidak begitu susah mendapatkan spot yang asik, walaupun sudah ada beberapa tenda dan nyala api unggun disana sini tak merubah rasa takutku. Kami mendirikan tenda coleman berwarna putih dengan flysheet abu-abu kapasitas lima orang jika sesuai syariat, jika keadaan memaksa mungkin bisa sepuluh orang masuk layaknya kereta ekonomi. Hanya uji yang cekatan mendirikan tenda, ya pantas saja menurutku ia lebih berpengalaman dan ini tenda miliknya. Kami hanya bisa mengikuti perintah uji, ini, itu, begini, begitu, kesini, kesitu pokoknya begitu. Tenda telah siap, dingin makin mendekap, uji menyiapkan alat masak dengan sigap, kami hanya bisa mangap.
“yaw dah sana shalat dulu, gantian shalatnya” uji menghentikan mangap kami
“dmana kang?”
“jalan aja kearah sana, nanti ada mushola, sekalian bawain air ya kalo balik. Buat masak.” Uji menunjuk arah timur
“ini tempat apa namanya ji?” tanya ku saat yang lain pergi shalat.
“lawang angin”
“oh” berarti itu pintu angin jika di translate dalam bahasa Indonesia fikirku. Tapi angin tidak kencang malam ini, justru tenang. Bulan dan bintang pun indah diatas sana. Ternyata ini rasanya.
            Uji masih sibuk menyiapkan makanan, aku hanya bisa menjadi pembantu umum baginya. Setelah kloter shalat pertama datang kami pun bergantian, aku dan uji shalat yang lain melanjutkan masak. Aku baru ingat bahwa orang kelima dari kami adalah Ade Irwan Saputra. Seperti apa dia akan ku bahas didepan jika tidak lupa. Dan hanya aku yang memanggil “uji” ke Fauzi Nurjihad. Yang lain menambahkan gelar “kang” karena memang uji dan Ade kaka kelas kami, hanya saja aku yang tidak tahu sopan santun. Terlalu kaku fikirku saat itu jika harus memanggil “kang”. Dari mushola terlihat beberapa saung semi permanen dan pos penjagaan yang kami hindari. Hanya ada beberapa penjaga disana, pantaslah kami lolos dengan penjaga sedikit itu dan kawasan seluas ini mudah saja. Aku mengambil wudhu, dan dinginnya “subhanallah sekali” udara dingin air dingin lengkaplah. Air dingin ini bisa menjadi alasan untuk tidak shalat bagi yang tidak mengerti. Setelah shalat kami kembali ke tenda. Makanan sudah siap. Maka kami santap bersama. Makan apa waktu itu aku sudah lupa.
            Malam yang dingin itu kurasakan hangat. Walau tanpa perapian. Pula ditenda-tenda sebrang sana. Mereka saling canda, bernyanyi, ada pula yang saling bersahutan antar tenda yang jauh. Kufikir nikmat sekali kehidupan mereka, hanya ada canda dalam tenda. Sedikit aku mulai menikmati ketinggian (mungkin buper tepatnya). Aku bisa melihat bintang saling merayu diangkasa. Rembulan mengawasi mereka. Lampu kota yang saling mencinta. Nyanyian binatang malam. Pohon-pohon yang saling membisu. Teman-teman yang menggigil. Dan dari sekian banyak pemandangan aku lebih memilih untuk diam, biarkan mata dan hati yang berkerja.
            Dingin semakin menusuk, pergelangan tangan menunjukan jam lima. Shubuh fikirku. Yang lain tetap lelap dengan kedinginan sebagaimana diriku tadi. Begitu malas ku beranjak. Godaan yang sangat ampuh. Dingin dan kantuk. Aku terlelap lagi. Melek lagi jam enam. Masih dingin. Masih terlihat gelap. Ku bangunkan yang ingin bangun. Ade orangnya. Kami keluar dari peraduan. Indah sekali pagi ini, kabut menutupi kota bandung, disini masih gelap. Aku dan ade beranjak ke mushola, shalat shubuh. “lebih baik telat daripada telat banget” kata ade. Walaupun hanya pembenaran tapi kami setuju kala itu.
            Setelah kami shalat yang lain menyusul. Aku masih kagum dengan suasana ini. Nyayian malam berganti kicauan burung merdu. Alam ini seolah tidak pernah henti bernyanyi. Terus disambung. Mungkin playlistnya sudah pasti. Kami mulai berkegiatan pagi ini. Masak, makan, packing semua tertib sesuai SOP. Tak berapa lamapun kami siap berjalan. Uji masih menjadi pembawa kemana kami pergi.
            Setelah berdoa kami melangkah. Sekitar jam delapan kami beranjak. Udara mulai hangat karena senyuman mentari. Langkah demi langkah terasa menyenangkan. Kami melewati hutan pinus, hanya sedikit senyuman mentari yang bisa masuk kehutan ini. Mungkin itu sebabnya hutan ini dingin dan lembab. Namun aku suka. Obrolan ringan masih menemani langkah kami sesekali nyanyian tidak penting bernada sumbang.
            Setelah hutan kami melewati jalan terbuka dan berbatu. Hangat mulai terasa kembali. Jalan yang tidak mengenakan. Ujungya tidak terlihat, batunya besar-besar, untunglah jalannya relatif datar dengan sesekali menanjak. Obrolan dan nyanyian kecil tadi berubah menjadi keluhan dan pertanyaan “masih jauh gak ji? Jauh amat”. Dan itu hampir sepanjang jalan di tanyakan. Untunglah uji sabar membesarkan hati kami. “dikit lagi, ini tandanya”. Jawaban yang selalu sama karena pertanyaan yang sama pula. padahal kami tahu itu hanya jawaban kamuflase clasic. Tak apalah, kami terus melangkah. Hangat berganti panas. Keringat mulai menetes. Betis terasa kencang. Hati tak karuan.
            Ini lebih jauh daripada petualanganku dengan kakakku sewaktu sd. Setelah jalan berbatu yang panjang kami bertemu portal dan gapura yang bertuliskan –aku lupa-. Beberapa puluh meter setelahnya kami bertemu padang rumput seukuran lapangan bola atau lebih. Mungkin ini tempat upacara atau “penyiksaan” para traine. Beberapa puluh meter lagi kami melihat ini.
            Danau. Luas. Indah. Subhallah. Sebelah kanan gunung tangkuban perahu. Sekelilingnya berjajar pegunungan sisa gunung sunda purba. Di tengah-tengah danau ada beberapa daratan kecil ibarat pulau terpencil disamudra. Airnya begitu jernih hingga terlihat ikan-ikan kecil terlihat berbahagia. Udara yang sejuk. Ah entah apalagi. Ini kali pertamanya aku melihat keajaiban di ketinggian. Kami berhamburan gembira. Berlari, berteriak, bengong dan segala bentuk kegiatan kekaguman. Budi dan andri berusaha menangkap ikan. Mereka terlihat seperti primitif atau anak-anak yang berusaha menangkap ikan tanpa alat. Uji dan ade lebih senang memasak untuk merayakan kegembiraan. Aku? Seperti biasa duduk diatas batu besar dengan diam seperti mengagumi malam tadi malam. Ibarat lukisan yang teramat detail Allah menciptakan tempat ini, andai saja daku bisa membawa pulang.
            Oh ya, hampir lupa aku memberi tahu nama danau ini. Perkenalkan danau ini berjuluk SituLembang, keajaiban pertama yang membuatku cinta. Ia dapat bercerita tentang kehidupan dan alam. Ia begitu dingin menyambutku namun aku merasakan kehangatannya. Aku harus berterimakasi pada uji yang telah menjebakku ikut dalam perjalanan ini. Walau dengan letih dan sedikit kesal aku tetap harus berterimakasih. “Fauzi Nur Jihad, terimakasih telah menjebakku dalam cinta alamraya.” Ini adalah langkah pertamaku untuk ribuan langkah berikutnya.



2 komentar: