Sore itu aku di
ajak entah kemana. Fauzi Nur Jihad yang lebih sering ku sapa uji adalah
penggagasnya. Yang kudengar ia telah berpengalaman, ya setidaknya ia satu tahun
lebih dulu bergelut di kegiatan alam luar daripada diriku. Kami janji bertemu
di STM yang sekarang menjadi SMKN 1 Cimahi jam lima sore. Dengan peralatan
sekedarnya ala anak kost, uang yang tidak terlalu banyak karena waktu itu hari
sabtu dimana orang tuaku belum mengirim jatah mingguan aku berangkat. Kami lima
orang, saya, Uji, Budi, Andri dan siapa lagi aku benar-benar lupa. Atau memang
kami hanya berempat. Orang-orang ini baru aku kenal, kami berkenalan di
STAMPARA. Ya aku anggap ini sebagai ajang sosialisasiku dilingkungan yang baru
ini, maklum aku anak rantau, walau aku lahir di Bandung namun aku lebih lama
tinggal di Tangerang. Walau banyak kerabat yang tinggal di bandung namun aku
tetap tinggal kost, karena lokasi STM yang jauh dari tempat kerabat.
Kami berjanji
kumpul di taman bambu STM, jika telah memasuki gerbang STM tepat kesebelah kiri
itu menuju ruang tata usaha dan ruang kelas normatif adaptif. Kesebelah kanan
ada pos satpam dimana hari-hari selanjutnya aku sering numpang nonton TV
bersama Acun apalagi ketika serial “Diary’s Angel” tayang, hampir tidak pernah
absen saya dengan Acun nongkrong disana. Sebelah pos satapam tempat parkir
siswa yang menurut saya tidak terlalu istimewa karena saya jarang kesana,
kecuali saya dapet pinjaman motor untuk pelajaran renang atau sekedar beli
makan. Beberapa meter lurus dari gerbang disebelah kirinya ada lapang 2 yang
sering dipakai kegiatan ekstrakulikuler ataupun membariskan siswa yang datang
terlambat upacara sebelum mereka mendapatkan hukuman. Nah, apabila di kiri ada
lapang 2 maka di kanan ada taman bambu kuning atau TBK. Di TBK ada 4 bagian wilayah
kekuasaan. Taman PASUS, PRAMUKA, PMR, dan PA-STAMPARA semua dibatasi oleh jalan
setapak menuju pusat taman yaitu bambu kuning yang rindang. Yah TBK ini sering
dijadikan tempat ngadem bercanda ataupun pacaran oleh para siswa.
Teng, jam lima
kami sudah siap. Uji dengan caryl birunya yang lumayan besar terlihat gagah,
sedang kami bocah ingusan hanya membawa tas sekolah yang berisikan jaket,
snack, air, mie instant, “titinyuheun” berupa kopi, susu dan sejenisnya. Kami
berpamitan pada rekan-rekan yang tidak ikut, harapanku memang sebanyak mungkin
rekan harus ikut, tapi apaboleh buat mungkin mereka terbentur izin orang tua,
tidak seperti diriku dan Andri yang anak kost, bebas, yang terpenting uang kost
dibayar tepat waktu. Dengan budi aku tidak mengerti, dia tampak aneh sejak
pertama kami bertemu. Perawakan kurus tidak terlalu tinggi dan “beungeut”
kecina-cinaan serta bersepedah kesekolah cukup membuat anak ini termasuk
manusia bermistery yang ada di STM.
Hari sudah
gelap katika aku melihat gapura bertuliskan KOMANDO kala itu, aku lupa jam
berapa. Yang terbayangkan olehku saat itu adalah tempat ini sering dijadikan
tempat berlatih oleh tentara. Boleh juga fikirku ketempat seperti ini. Dari
KOMANDO kami berjalan beberapa kilometer untuk sampai tempat camp,ya setidaknya
itu yang dikatakan uji. Maka kami manut, mengikuti langkah kaki uji, udara
mulai dingin, aku ambil sebatang rokok dan membakarnya untuk menghangatkan
diri. Namun merokok sambil berjalan di track yang menanjak sangat tidak enak
rasanya. Dadaku sesak, maka kubuang rokok itu. Dasar pendaki ingusan fikirku.
Aku bertekat tidak akan merokok lagi karena pastinya tantangan kedepan lebih
dahsyat menguras fisik, dan aku tidak bisa melaluinya jika bermasalah dengan paru-paru. Jaln kampung
sudah habis, kini kami berjalan di perkebunan warga. Jika melihat ke atas aku
menemukan cahaya di sebuah bangunan, fikirku itu adalah “saung” warga. Aku
menyalakan senter, ya aku memang takut kegelapan kala itu, setidaknya aku bisa
beralasan menerangi jalan untuk menyembunyikan ketakutanku. Namun yang aku
heran uji membawa kami menjauhi sumber cahaya. Suara serangga yang bersautan
malam menambah rasa ngeri dihati.
“matiin senternya, jalannya
nunduk, jangan sampai keliatan orang ya!”. Kami bingung dengan perintah uji
“emang kenapa kang?” keluar
juga kata dari budi padahal kukira ia gagu.
“kalo kita lewat pos itu
–menunjuk sumber cahaya- atau ketauan penjaga nanti disuruh bayar”
“Emang brapa brapa
bayarnya?”
“3ribu, lumayankan”
Oh ternyata faktor ekonomi
ternyata, ya memang 3ribu sangat berharga bagiku dihari sabtu dibandingkan hari
senin. Maka kami mengendap-ngendap memasuki kawasan layaknya game “medal of
honor”, bersembunyi dan menunduk jika cahaya senter menyinari kami lalu
melangkah hati-hati ketika semua telah terkendali.
Tak berapa lama kami dinyatakan berhasil melewati pos
penjagaan dengan selamat oleh uji. Setelah bermain petak umpet kami mencari
tanah datar untuk mendirikan tenda. Tidak begitu susah mendapatkan spot yang
asik, walaupun sudah ada beberapa tenda dan nyala api unggun disana sini tak
merubah rasa takutku. Kami mendirikan tenda coleman berwarna putih dengan
flysheet abu-abu kapasitas lima orang jika sesuai syariat, jika keadaan memaksa
mungkin bisa sepuluh orang masuk layaknya kereta ekonomi. Hanya uji yang
cekatan mendirikan tenda, ya pantas saja menurutku ia lebih berpengalaman dan
ini tenda miliknya. Kami hanya bisa mengikuti perintah uji, ini, itu, begini,
begitu, kesini, kesitu pokoknya begitu. Tenda telah siap, dingin makin
mendekap, uji menyiapkan alat masak dengan sigap, kami hanya bisa mangap.
“yaw dah sana shalat dulu,
gantian shalatnya” uji menghentikan mangap kami
“dmana kang?”
“jalan aja kearah sana,
nanti ada mushola, sekalian bawain air ya kalo balik. Buat masak.” Uji menunjuk
arah timur
“ini tempat apa namanya
ji?” tanya ku saat yang lain pergi shalat.
“lawang angin”
“oh” berarti itu pintu
angin jika di translate dalam bahasa Indonesia fikirku. Tapi angin tidak
kencang malam ini, justru tenang. Bulan dan bintang pun indah diatas sana.
Ternyata ini rasanya.
Uji masih sibuk menyiapkan makanan, aku hanya bisa
menjadi pembantu umum baginya. Setelah kloter shalat pertama datang kami pun
bergantian, aku dan uji shalat yang lain melanjutkan masak. Aku baru ingat
bahwa orang kelima dari kami adalah Ade Irwan Saputra. Seperti apa dia akan ku
bahas didepan jika tidak lupa. Dan hanya aku yang memanggil “uji” ke Fauzi
Nurjihad. Yang lain menambahkan gelar “kang” karena memang uji dan Ade kaka
kelas kami, hanya saja aku yang tidak tahu sopan santun. Terlalu kaku fikirku
saat itu jika harus memanggil “kang”. Dari mushola terlihat beberapa saung semi
permanen dan pos penjagaan yang kami hindari. Hanya ada beberapa penjaga
disana, pantaslah kami lolos dengan penjaga sedikit itu dan kawasan seluas ini
mudah saja. Aku mengambil wudhu, dan dinginnya “subhanallah sekali” udara
dingin air dingin lengkaplah. Air dingin ini bisa menjadi alasan untuk tidak
shalat bagi yang tidak mengerti. Setelah shalat kami kembali ke tenda. Makanan
sudah siap. Maka kami santap bersama. Makan apa waktu itu aku sudah lupa.
Malam yang dingin itu kurasakan hangat. Walau tanpa
perapian. Pula ditenda-tenda sebrang sana. Mereka saling canda, bernyanyi, ada
pula yang saling bersahutan antar tenda yang jauh. Kufikir nikmat sekali
kehidupan mereka, hanya ada canda dalam tenda. Sedikit aku mulai menikmati
ketinggian (mungkin buper tepatnya). Aku bisa melihat bintang saling merayu
diangkasa. Rembulan mengawasi mereka. Lampu kota yang saling mencinta. Nyanyian
binatang malam. Pohon-pohon yang saling membisu. Teman-teman yang menggigil.
Dan dari sekian banyak pemandangan aku lebih memilih untuk diam, biarkan mata
dan hati yang berkerja.
Dingin semakin menusuk, pergelangan tangan menunjukan jam
lima. Shubuh fikirku. Yang lain tetap lelap dengan kedinginan sebagaimana
diriku tadi. Begitu malas ku beranjak. Godaan yang sangat ampuh. Dingin dan
kantuk. Aku terlelap lagi. Melek lagi jam enam. Masih dingin. Masih terlihat
gelap. Ku bangunkan yang ingin bangun. Ade orangnya. Kami keluar dari peraduan.
Indah sekali pagi ini, kabut menutupi kota bandung, disini masih gelap. Aku dan
ade beranjak ke mushola, shalat shubuh. “lebih baik telat daripada telat
banget” kata ade. Walaupun hanya pembenaran tapi kami setuju kala itu.
Setelah kami shalat yang lain menyusul. Aku masih kagum
dengan suasana ini. Nyayian malam berganti kicauan burung merdu. Alam ini
seolah tidak pernah henti bernyanyi. Terus disambung. Mungkin playlistnya sudah
pasti. Kami mulai berkegiatan pagi ini. Masak, makan, packing semua tertib
sesuai SOP. Tak berapa lamapun kami siap berjalan. Uji masih menjadi pembawa
kemana kami pergi.
Setelah berdoa kami melangkah. Sekitar jam delapan kami
beranjak. Udara mulai hangat karena senyuman mentari. Langkah demi langkah
terasa menyenangkan. Kami melewati hutan pinus, hanya sedikit senyuman mentari
yang bisa masuk kehutan ini. Mungkin itu sebabnya hutan ini dingin dan lembab.
Namun aku suka. Obrolan ringan masih menemani langkah kami sesekali nyanyian
tidak penting bernada sumbang.
Setelah hutan kami melewati jalan terbuka dan berbatu.
Hangat mulai terasa kembali. Jalan yang tidak mengenakan. Ujungya tidak
terlihat, batunya besar-besar, untunglah jalannya relatif datar dengan sesekali
menanjak. Obrolan dan nyanyian kecil tadi berubah menjadi keluhan dan pertanyaan
“masih jauh gak ji? Jauh amat”. Dan itu hampir sepanjang jalan di tanyakan.
Untunglah uji sabar membesarkan hati kami. “dikit lagi, ini tandanya”. Jawaban
yang selalu sama karena pertanyaan yang sama pula. padahal kami tahu itu hanya
jawaban kamuflase clasic. Tak apalah, kami terus melangkah. Hangat berganti
panas. Keringat mulai menetes. Betis terasa kencang. Hati tak karuan.
Ini lebih jauh daripada petualanganku dengan kakakku
sewaktu sd. Setelah jalan berbatu yang panjang kami bertemu portal dan gapura
yang bertuliskan –aku lupa-. Beberapa puluh meter setelahnya kami bertemu
padang rumput seukuran lapangan bola atau lebih. Mungkin ini tempat upacara
atau “penyiksaan” para traine. Beberapa puluh meter lagi kami melihat ini.
Danau. Luas. Indah. Subhallah. Sebelah kanan gunung
tangkuban perahu. Sekelilingnya berjajar pegunungan sisa gunung sunda purba. Di
tengah-tengah danau ada beberapa daratan kecil ibarat pulau terpencil
disamudra. Airnya begitu jernih hingga terlihat ikan-ikan kecil terlihat
berbahagia. Udara yang sejuk. Ah entah apalagi. Ini kali pertamanya aku melihat
keajaiban di ketinggian. Kami berhamburan gembira. Berlari, berteriak, bengong
dan segala bentuk kegiatan kekaguman. Budi dan andri berusaha menangkap ikan. Mereka
terlihat seperti primitif atau anak-anak yang berusaha menangkap ikan tanpa
alat. Uji dan ade lebih senang memasak untuk merayakan kegembiraan. Aku?
Seperti biasa duduk diatas batu besar dengan diam seperti mengagumi malam tadi
malam. Ibarat lukisan yang teramat detail Allah menciptakan tempat ini, andai
saja daku bisa membawa pulang.
Oh ya, hampir lupa aku memberi tahu nama danau ini.
Perkenalkan danau ini berjuluk SituLembang, keajaiban pertama yang membuatku
cinta. Ia dapat bercerita tentang kehidupan dan alam. Ia begitu dingin
menyambutku namun aku merasakan kehangatannya. Aku harus berterimakasi pada uji
yang telah menjebakku ikut dalam perjalanan ini. Walau dengan letih dan sedikit
kesal aku tetap harus berterimakasih. “Fauzi Nur Jihad, terimakasih telah
menjebakku dalam cinta alamraya.” Ini adalah langkah pertamaku untuk ribuan
langkah berikutnya.
lama tak jumpa brader,,,,,,
BalasHapusYoi coy, ulah poho 19 :D
Hapus