Kembali
pada para wanita, mereka pergi tanpa aku beri sepeserpun. Tentu saja karena aku
ilfiel. Dan mereka berlalu mencari buruan baru. Belum lima belas menit sudah
hadir pemeran baru. Kali ini anak perempuan. Wajah polosnya berbalut kekalutan.
Celana pendek. Baju kumal melekat pada tubuhnya. Ia bernyanyi. Dengan gitar.
Lagunya entah. Suaranya sangat memaksa. Ada yang berbeda. Ia memberi kami
amplop. Tentu untuk diisi bukan berisi. Mungkin harapannya mendapat lembaran
bukan recehan. Niatku untuk memberi sudah sirna karena artis-artis sebelumnya.
Aku melihat wajah teman-temanku. Mhadamz dan cheper tampak tersenyum. Salah.
Senyum-senyum. Namun aku tak perlu membalas senyuman meraka karena itu pasti
bukan untukku. Mereka tak tampak memasukan lembaran ke amplop itu. Ternyata
pandangan mereka tertuju ke Abank, pandanganku pun langsung mencari sosok
abank. Tidak ada yang aneh. Dia hanya sedang bercerita dan kami tidak fokus
pada ceritanya. Apa yang disenyumi dari abank? “masa ia gw kalah kece”. Kini
aku perhatikan Abank dengan seksama. Ternyata, aku menemukan tangan kanannya
masih menyuapi 234 ke mulutnya namun tangan kiri bergerilya memasukan madu
–sachet- kedalam amplop dengan susah payah karena tidak ingin si adik kecil
mengetahui perbuatannya. “aya-aya uae ci Abank”. Padahal itu madu sisa
pendakian gunung Sindoro-Sumbing dua minggu lalu yang baru saja ku keluarkan.
Senyuman
kami terhenti oleh uluran tangan sang artis cilik yang meminta amplopnya.
Ternyata sudahlah ia bernyanyi. Kami kumpulkan lalu kami berikan. Beberapa
langkah kecil ia sudah membuka amplop.
“MADU????”
Kami serentak tertawa.
“bwahahahhaha’’
“ia de biar sehat, kan ade begadang
mulu” candaku
Perlahan tawa kami hilang beriringan
dengan langkah herannya. Lingkaran kami sepi lagi. Menunggu episode baru malam
ini. Malam mendung di jakarta.
Benar
saja. Malam ini menangis. Perlahan semakin deras. Kerumunan orang sepanjang
jalan bubar layaknya “misbar” saat menonton layar tusuk eh tanceb. Sepi
seketika. Kami lari-lari kecil, lalu berjalan. Biarlah basah. Nikmat kok
fikirku. Di ujung jalan kami melihat tempat berteduh. Seven eleven. Maka itu
tujuan pelarian kami. Sampai ditujuan kami basah sebelah. Ambil kursi empat
buah, dekatkan dengan meja bundar, kembali melingkar, konferensi siap dimulai.
Kali
ini semua diam. Sibuk dengan gadjet masing-masing. Tepatnya mhadamz dan cheper,
karena hanya mereka yang punya gadjet keluaran terbaru. Abank lebih suka
membeli alat outdoor daripada elektronik, terlihat dari kemeja lapangan dan tas
nya. “setelan petualang”. Sedangkan aku lebih senang.... entahlah, kemana
uangku mengalir. Abank sibuk dengan sampoerna mildnya. Aku dengan buku yang
baru dibeli.
Kami
saling tidak peduli kami saling menuli. Mungkin pertemuan ini sebuah pemaksaan
keadaan pengakuan bahwa kami saling mengenal. Ini pertemuan yang kami
canangkan, pertemuan untuk bertegur sapa. Aku melihat sekitar. Semua orang
sibuk dengan episode kehidupannya. Meja sebelah kanan ku bertumpukan para
pemuda dengan birnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka saling
mentertawai. Sesekali meenengguk. Beberapa kali menyuapkan makanan kecil.
Fikiranku mengarahkan apa yang akan selanjutnya mereka lakukan. Setelah dari
sini mereka ke diskotik ataupun membuat kegaduhan di rumah masing-masing.
Di meja bagian depan kananku ada seorang
wanita. Cantik memang. Ia memakai hotpants dengan jaket bola. Pria normal pasti
betah melihat pemandangan ini. Kursi sebelahnya hanya ada jaket pria tanpa
wujud. Makanannya sudah habis.sekarang ia sibuk bermain BB. Mungkin ia menunggu
kekasihnya yang sedang menjemput selingkuhannya fikirku. Tentu tanpa sepengetahuan
dia tentunya. Meja-meja disebelah kiriku juga riuh. Aku lupa persisnya. Namun
yang pasti ada beberapa kemungkinan mereka kesini. Antara berteduh dari hujan,
mencari keramaian, kelaparan ataupun bersembunyi dari kenyataan. Kenyataan
bahwa mereka tidak punya kegiatan. Ah, tulisanku mulai ngelantur.
“woi ngobrol! Pade sibuk sendiri aje.
Gini nich akibat socmed, yang jauh terasa dekat yang dekat terasa jauh!’ ketus
ku
“iya yah, ya sok atuwh mau ngobrol
apa?” mhadamz mulai bekicau.
“cerita gunung ah, tapi yang serem.”
Cheper megusulkan
“jis ngeri.” Yang ini abank
Mulai cheper bercerita
yang setnya di gunung cikurai, blablablablablablabla..... aku kurang menyimak,
karena kau sedang memperhatikan dan memfikirkan apa yang sebenarnya terjadi
pada semua orang yang berkumpul disini. Namu yang aku ingat adalah cikurai,
pendakian, frangia, kereta, wanita tanpa muka atau muka rusak. Entahlah
bagaiman bisa merangkai cerita dari kumpulan kata diatas. Mhadamz juga
berkisah. Tentang apa saya lupa. abank tak mau kalah. Ia juga punya setan.
Maksudku cerita, setan.
Akupun bercerita tentang
pengalamanku. Kala itu aku susur pantai pelabuhan ratu-ujung genteng dalam
rangka ekspedisi. Kala itu abank salah satunya, kami berenam. Abank bertanggung
jawab sebagai penunjuk arah, karena ia divisi navigasi. Kami melakukan
perjalanan malam, melewati pinggiran pantai, melewati dua rumah yang sangat
primitif tanpa listrik. Mungkin hanya diisi beberapa orang. Kami bertanya jalan.
Lalu oleh pria hitam –mungkin kepala keluarga itu- berbadan tegap, tangan
buntung sebelah. kami ditunjuki jalan. Kami percaya lalu kami melanjutkan
perjalanan. Kali ini melewati hutan, rawa dan daerah seperti sabana. Kami
berjalan dengan berpegangan webbing yang mengaitkan satu sama lain. Agar tidak
ada yang ketinggalan. Aku berjalan kedua dari belakang. Ketika berjalan di
hutan yang lembab dan becek aku merasa kami kedatangan tamu. Yang seharusnya
dibelakangku hanya ada satu orang kini bertambah menjadi dua. Namun aku diam
saja agar tidak ada kepanikan. Kami kehilangan arah. Di sabana kami berhenti.
Abank membuka peta. Walau aku lebih sering menggunakan navigasi firasat kali
ini aku harus percaya abank.kami berhenti cukup lama. Aku melihat keatas pohon.
Sepertinya ada yang memperhatikan kami. Namun aku ingat perkataan teman. Jika
melihat makhluk ghaib yang berbentuk binatang atau belum jelas bentuknya
“pelototin aja” karena itu berarti ilmu dia belum seberapa. Aku nekat. Aku “pelototin”,
dia juga melototin. Jadilah pandangan kami bertemu di malam yang romantis ini.
Mencekam maksudnya. Beberapa lama aku masih kuat. Aku menundukan kepala,
sekalian melihat abank yang sedang kencan dengan kompas. Aku melihat ke makhluk
itu lagi, pandangan kami bertemu lagi. Pada akhirnya aku menyerah. Dan menyuruh
abank untuk jalan dan hentikan berkencan dengan kompas. Aku semakin takut.
Langkah tidak beraturan, nafas juga, apalagi muka. Keluar dari hutan kami
menemukan bangunan. Kami mendekati bangunan itu berharap ada manusia yang bisa
menolong, ternyata. Bangunan itu sama menyeramkan dengan hutan. Tembok bagian
dalam hitam, seperti bekas terbakar bagian luarnya pun sama dan banyak coretan.
Atapnya tidak karuan. Bangunan ini layaknya pos ronda, karena kecil dan hanya
ada satu ruangan. Karena sudah lelah kami membangun tenda di belakang bangunan
ini. Kira-kira 50 meter dibelakang atau lebih. Dua teman wanitaku tidur di
tenda, sedangkan para pria di luar. Aku tidak bisa tidur. Malam ini sungguh
mencekam. Langit yang berawan tanpa bintang. Deburan ombak yang saling
mengumpat. Binatang malam yang saling bersautan menambah kesan angker. Aku
takut ketika kami tidur ada seseorang atau lebih menyerang kami layaknya
psikopat atau kanibal mungkin. Yah sepertinya aku korban film. Dan ini dan itu
ceritaku. Entah ini menyeramkan atau tidak, namun kejadian ini bisa membuat
jantungku olahraga malam kala itu.
Di tengah cerita abank
masuk ke minimart, tak lama ia membawa dua bungkus besar kripik dan empat
kaleng kopi dingin. Ngopi lagi. Ceritapun berlanjut, sekarang tidak jelas,
ngalor-ngidul. Aku kembali memperhatikan sekitar. Sudah banyak formasi yang
berubah, para pemuda dan birnya sudah minggat. Wanita yang sendiri sekarang
prianya sudah ada. Badannya agak gemuk, bertato. Dandanan anak muda zaman kini.
Mereka tampak serasi. Terbesit fikiran nakalku, paling pulang dari sini mereka
mencari tempat, mungkin hotel untuk free sex, karena begitulah gaya hidup
hedonis anak muda zaman sekarang. Astagfirullah. Sudahi membicarakan mereka. Di
depan kiriku baru duduk dua orang pria. Yang satu gemuk dan yang satu kurus.
Inilah kesenjangan fikirku. Mereka makan fried chiken dan nasi, minumnya teh.
Mereka membuka laptop. Yang kurus mulai mengetik, menggeser tikus dan
berkegiatan dengan laptop. Yang gemuk terus makan, sesekali melihat monitor,
menunjuk monitor lalu kembali makan. Ya mungkin itu mengapa ada perbedaan yang
signifikan dengan bentuk tubuh mereka. Malam minggu seperti ini ada yang beda
karena mereka bekerja –Sepertinya-. Di sebelah kiriku ada penghuni baru. Dua
meja menjadi satu. Dan mereka berkumpul. Sekitar sepuluh orang. Pria dan
wanita. Semua dandan modis. Ada satu wanita yang berkerudung. Kerudung gaul.
Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi tawa mereka menguasai tempat ini
sekarang.
Kepalaku mulai sakit,
jantungku berdebar, dan susah nafas. Mungkin ini efek dua minggu begadang,
kehujanan, kopi dan rokok. Atau lebih tepatnya efek ujian tadi di kampus. Aku
meminta pulang. Selain kondisiku yang tidak karuan, aku tidak bisa membiarkan
teman wanitaku pulang malam walaupun di jakarta mungkin sudah biasa namun aku
masih merasa bertanggung jawab sebagai teman mereka. Kami sepakat pulang.
Mhadamz dan cheper naik taksi biar aman. Aku dan abank ngangkot saja yang
merakyat dengan dompet.
Malam ini aku bertemu
banyak manusia dengan berbagai latar belakang, kepentingan, pemikiran dan
hinnga hal-hal terkecil. Mengesankan. Namun setelah ini mereka dan aku menjadi
apa? Akankah abadi menjadi seperti ini. Bagaimana tanggapan orangtua yang
membesarkan mereka, tentang jalan hidup yang mereka pilih. Apakah ada dengki
atas kesenjangan-kesenjangan yag terjadi. Terlihat menyusahkan jika harus
menjadi seperti mereka namun terbesit pula untuk seperti meraka. Siapakah yang
baik disini? Mereka? Aku? Atau tidak ada. Bagaimana jika aku adalah pengamen
jalanan tadi? Bagai mana jika anak kecil yang benyanyi tadi itu adikku, atau
anakku kelak. Bisakah aku menghadapinya. Bagaimana jika aku adalah tukang tahu
gejrot dan pria kurus dan gemuk yang terus bekerja tanpa melihat hari dan
waktu. Bagaimana jika aku menjadi para pemuda kaya. Bagaimana aku
mempertanggung jawabkan harta dan usiaku. Pertanyaan pertanyaan kehidupan terus
berputar di otakku. Tak sempat terjawab karena aku sudah terkapar lemah di
kamar abank.
Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya sudah selesai ketika tahu, "Nanti gue mau jadi 'anu'." Hehehehe. :)
BalasHapusNice writing Cum! Tetap nulis ya! :D
hahaha... kita harus tetap bertanya untuk tetap hidup :)
BalasHapusmohon bimbingannya ya per hahaha