Senin, 07 Oktober 2013

malam jakarta -bag.2-

          Kembali pada para wanita, mereka pergi tanpa aku beri sepeserpun. Tentu saja karena aku ilfiel. Dan mereka berlalu mencari buruan baru. Belum lima belas menit sudah hadir pemeran baru. Kali ini anak perempuan. Wajah polosnya berbalut kekalutan. Celana pendek. Baju kumal melekat pada tubuhnya. Ia bernyanyi. Dengan gitar. Lagunya entah. Suaranya sangat memaksa. Ada yang berbeda. Ia memberi kami amplop. Tentu untuk diisi bukan berisi. Mungkin harapannya mendapat lembaran bukan recehan. Niatku untuk memberi sudah sirna karena artis-artis sebelumnya. Aku melihat wajah teman-temanku. Mhadamz dan cheper tampak tersenyum. Salah. Senyum-senyum. Namun aku tak perlu membalas senyuman meraka karena itu pasti bukan untukku. Mereka tak tampak memasukan lembaran ke amplop itu. Ternyata pandangan mereka tertuju ke Abank, pandanganku pun langsung mencari sosok abank. Tidak ada yang aneh. Dia hanya sedang bercerita dan kami tidak fokus pada ceritanya. Apa yang disenyumi dari abank? “masa ia gw kalah kece”. Kini aku perhatikan Abank dengan seksama. Ternyata, aku menemukan tangan kanannya masih menyuapi 234 ke mulutnya namun tangan kiri bergerilya memasukan madu –sachet- kedalam amplop dengan susah payah karena tidak ingin si adik kecil mengetahui perbuatannya. “aya-aya uae ci Abank”. Padahal itu madu sisa pendakian gunung Sindoro-Sumbing dua minggu lalu yang baru saja ku keluarkan.
          Senyuman kami terhenti oleh uluran tangan sang artis cilik yang meminta amplopnya. Ternyata sudahlah ia bernyanyi. Kami kumpulkan lalu kami berikan. Beberapa langkah kecil ia sudah membuka amplop.
“MADU????”
Kami serentak tertawa. “bwahahahhaha’’
“ia de biar sehat, kan ade begadang mulu” candaku
Perlahan tawa kami hilang beriringan dengan langkah herannya. Lingkaran kami sepi lagi. Menunggu episode baru malam ini. Malam mendung di jakarta.
          Benar saja. Malam ini menangis. Perlahan semakin deras. Kerumunan orang sepanjang jalan bubar layaknya “misbar” saat menonton layar tusuk eh tanceb. Sepi seketika. Kami lari-lari kecil, lalu berjalan. Biarlah basah. Nikmat kok fikirku. Di ujung jalan kami melihat tempat berteduh. Seven eleven. Maka itu tujuan pelarian kami. Sampai ditujuan kami basah sebelah. Ambil kursi empat buah, dekatkan dengan meja bundar, kembali melingkar, konferensi siap dimulai.
          Kali ini semua diam. Sibuk dengan gadjet masing-masing. Tepatnya mhadamz dan cheper, karena hanya mereka yang punya gadjet keluaran terbaru. Abank lebih suka membeli alat outdoor daripada elektronik, terlihat dari kemeja lapangan dan tas nya. “setelan petualang”. Sedangkan aku lebih senang.... entahlah, kemana uangku mengalir. Abank sibuk dengan sampoerna mildnya. Aku dengan buku yang baru dibeli.
          Kami saling tidak peduli kami saling menuli. Mungkin pertemuan ini sebuah pemaksaan keadaan pengakuan bahwa kami saling mengenal. Ini pertemuan yang kami canangkan, pertemuan untuk bertegur sapa. Aku melihat sekitar. Semua orang sibuk dengan episode kehidupannya. Meja sebelah kanan ku bertumpukan para pemuda dengan birnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka saling mentertawai. Sesekali meenengguk. Beberapa kali menyuapkan makanan kecil. Fikiranku mengarahkan apa yang akan selanjutnya mereka lakukan. Setelah dari sini mereka ke diskotik ataupun membuat kegaduhan di rumah masing-masing. Di  meja bagian depan kananku ada seorang wanita. Cantik memang. Ia memakai hotpants dengan jaket bola. Pria normal pasti betah melihat pemandangan ini. Kursi sebelahnya hanya ada jaket pria tanpa wujud. Makanannya sudah habis.sekarang ia sibuk bermain BB. Mungkin ia menunggu kekasihnya yang sedang menjemput selingkuhannya fikirku. Tentu tanpa sepengetahuan dia tentunya. Meja-meja disebelah kiriku juga riuh. Aku lupa persisnya. Namun yang pasti ada beberapa kemungkinan mereka kesini. Antara berteduh dari hujan, mencari keramaian, kelaparan ataupun bersembunyi dari kenyataan. Kenyataan bahwa mereka tidak punya kegiatan. Ah, tulisanku mulai ngelantur.
“woi ngobrol! Pade sibuk sendiri aje. Gini nich akibat socmed, yang jauh terasa dekat yang dekat terasa jauh!’ ketus ku
“iya yah, ya sok atuwh mau ngobrol apa?” mhadamz mulai bekicau.
“cerita gunung ah, tapi yang serem.” Cheper megusulkan
“jis ngeri.” Yang ini abank
Mulai cheper bercerita yang setnya di gunung cikurai, blablablablablablabla..... aku kurang menyimak, karena kau sedang memperhatikan dan memfikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada semua orang yang berkumpul disini. Namu yang aku ingat adalah cikurai, pendakian, frangia, kereta, wanita tanpa muka atau muka rusak. Entahlah bagaiman bisa merangkai cerita dari kumpulan kata diatas. Mhadamz juga berkisah. Tentang apa saya lupa. abank tak mau kalah. Ia juga punya setan. Maksudku cerita, setan.
Akupun bercerita tentang pengalamanku. Kala itu aku susur pantai pelabuhan ratu-ujung genteng dalam rangka ekspedisi. Kala itu abank salah satunya, kami berenam. Abank bertanggung jawab sebagai penunjuk arah, karena ia divisi navigasi. Kami melakukan perjalanan malam, melewati pinggiran pantai, melewati dua rumah yang sangat primitif tanpa listrik. Mungkin hanya diisi beberapa orang. Kami bertanya jalan. Lalu oleh pria hitam –mungkin kepala keluarga itu- berbadan tegap, tangan buntung sebelah. kami ditunjuki jalan. Kami percaya lalu kami melanjutkan perjalanan. Kali ini melewati hutan, rawa dan daerah seperti sabana. Kami berjalan dengan berpegangan webbing yang mengaitkan satu sama lain. Agar tidak ada yang ketinggalan. Aku berjalan kedua dari belakang. Ketika berjalan di hutan yang lembab dan becek aku merasa kami kedatangan tamu. Yang seharusnya dibelakangku hanya ada satu orang kini bertambah menjadi dua. Namun aku diam saja agar tidak ada kepanikan. Kami kehilangan arah. Di sabana kami berhenti. Abank membuka peta. Walau aku lebih sering menggunakan navigasi firasat kali ini aku harus percaya abank.kami berhenti cukup lama. Aku melihat keatas pohon. Sepertinya ada yang memperhatikan kami. Namun aku ingat perkataan teman. Jika melihat makhluk ghaib yang berbentuk binatang atau belum jelas bentuknya “pelototin aja” karena itu berarti ilmu dia belum seberapa. Aku nekat. Aku “pelototin”, dia juga melototin. Jadilah pandangan kami bertemu di malam yang romantis ini. Mencekam maksudnya. Beberapa lama aku masih kuat. Aku menundukan kepala, sekalian melihat abank yang sedang kencan dengan kompas. Aku melihat ke makhluk itu lagi, pandangan kami bertemu lagi. Pada akhirnya aku menyerah. Dan menyuruh abank untuk jalan dan hentikan berkencan dengan kompas. Aku semakin takut. Langkah tidak beraturan, nafas juga, apalagi muka. Keluar dari hutan kami menemukan bangunan. Kami mendekati bangunan itu berharap ada manusia yang bisa menolong, ternyata. Bangunan itu sama menyeramkan dengan hutan. Tembok bagian dalam hitam, seperti bekas terbakar bagian luarnya pun sama dan banyak coretan. Atapnya tidak karuan. Bangunan ini layaknya pos ronda, karena kecil dan hanya ada satu ruangan. Karena sudah lelah kami membangun tenda di belakang bangunan ini. Kira-kira 50 meter dibelakang atau lebih. Dua teman wanitaku tidur di tenda, sedangkan para pria di luar. Aku tidak bisa tidur. Malam ini sungguh mencekam. Langit yang berawan tanpa bintang. Deburan ombak yang saling mengumpat. Binatang malam yang saling bersautan menambah kesan angker. Aku takut ketika kami tidur ada seseorang atau lebih menyerang kami layaknya psikopat atau kanibal mungkin. Yah sepertinya aku korban film. Dan ini dan itu ceritaku. Entah ini menyeramkan atau tidak, namun kejadian ini bisa membuat jantungku olahraga malam kala itu.
Di tengah cerita abank masuk ke minimart, tak lama ia membawa dua bungkus besar kripik dan empat kaleng kopi dingin. Ngopi lagi. Ceritapun berlanjut, sekarang tidak jelas, ngalor-ngidul. Aku kembali memperhatikan sekitar. Sudah banyak formasi yang berubah, para pemuda dan birnya sudah minggat. Wanita yang sendiri sekarang prianya sudah ada. Badannya agak gemuk, bertato. Dandanan anak muda zaman kini. Mereka tampak serasi. Terbesit fikiran nakalku, paling pulang dari sini mereka mencari tempat, mungkin hotel untuk free sex, karena begitulah gaya hidup hedonis anak muda zaman sekarang. Astagfirullah. Sudahi membicarakan mereka. Di depan kiriku baru duduk dua orang pria. Yang satu gemuk dan yang satu kurus. Inilah kesenjangan fikirku. Mereka makan fried chiken dan nasi, minumnya teh. Mereka membuka laptop. Yang kurus mulai mengetik, menggeser tikus dan berkegiatan dengan laptop. Yang gemuk terus makan, sesekali melihat monitor, menunjuk monitor lalu kembali makan. Ya mungkin itu mengapa ada perbedaan yang signifikan dengan bentuk tubuh mereka. Malam minggu seperti ini ada yang beda karena mereka bekerja –Sepertinya-. Di sebelah kiriku ada penghuni baru. Dua meja menjadi satu. Dan mereka berkumpul. Sekitar sepuluh orang. Pria dan wanita. Semua dandan modis. Ada satu wanita yang berkerudung. Kerudung gaul. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi tawa mereka menguasai tempat ini sekarang.
Kepalaku mulai sakit, jantungku berdebar, dan susah nafas. Mungkin ini efek dua minggu begadang, kehujanan, kopi dan rokok. Atau lebih tepatnya efek ujian tadi di kampus. Aku meminta pulang. Selain kondisiku yang tidak karuan, aku tidak bisa membiarkan teman wanitaku pulang malam walaupun di jakarta mungkin sudah biasa namun aku masih merasa bertanggung jawab sebagai teman mereka. Kami sepakat pulang. Mhadamz dan cheper naik taksi biar aman. Aku dan abank ngangkot saja yang merakyat dengan dompet.
Malam ini aku bertemu banyak manusia dengan berbagai latar belakang, kepentingan, pemikiran dan hinnga hal-hal terkecil. Mengesankan. Namun setelah ini mereka dan aku menjadi apa? Akankah abadi menjadi seperti ini. Bagaimana tanggapan orangtua yang membesarkan mereka, tentang jalan hidup yang mereka pilih. Apakah ada dengki atas kesenjangan-kesenjangan yag terjadi. Terlihat menyusahkan jika harus menjadi seperti mereka namun terbesit pula untuk seperti meraka. Siapakah yang baik disini? Mereka? Aku? Atau tidak ada. Bagaimana jika aku adalah pengamen jalanan tadi? Bagai mana jika anak kecil yang benyanyi tadi itu adikku, atau anakku kelak. Bisakah aku menghadapinya. Bagaimana jika aku adalah tukang tahu gejrot dan pria kurus dan gemuk yang terus bekerja tanpa melihat hari dan waktu. Bagaimana jika aku menjadi para pemuda kaya. Bagaimana aku mempertanggung jawabkan harta dan usiaku. Pertanyaan pertanyaan kehidupan terus berputar di otakku. Tak sempat terjawab karena aku sudah terkapar lemah di kamar abank.

2 komentar:

  1. Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya sudah selesai ketika tahu, "Nanti gue mau jadi 'anu'." Hehehehe. :)

    Nice writing Cum! Tetap nulis ya! :D

    BalasHapus
  2. hahaha... kita harus tetap bertanya untuk tetap hidup :)
    mohon bimbingannya ya per hahaha

    BalasHapus