Rabu, 06 November 2013

MALABAR -Bag.2-

Mereka masih sangat minim pengalaman dalam pendakian namun harus bernasib malang bersamaku.

                Aku menerawang jauh kebelakang mengapa hal ini bisa terjadi. Dari awal keberangkatan kami tidak memiliki tenda. Namun dengan nada santai kami berkata “udah tidur ngampar aja di luar”. Sungguh sakti memang ego anak muda. Untung saja sebelum berangkat aku mendapatkan sms dari senior untuk memakai tenda yang ada di basecamp. Untunglah.

                Sesampainya di gerbang pendakian pada sore hari kami mengambil jalan memutar. Mengapa? Simpel saja kami enggan membayar. aku yang berprinsip seharusnya bumi ini gratis untuk di nikmati pasti enggan membayar. beberapa kali memang pendakianku tidak melewati gerbang utama. Kami sempat dipergoki pengawas dan diteriaki, namun kami pura-pura tidak mendengar terus melaju dan menambah ketinggian.

                 Malam makin hitam, hewan-hewan hutan mulai saling bersautan namun kami tak kunjung sampai tempat tujuan. Karena sudah saling lelah maka kami beristirahat sejenak. Lama-kelamaan kami merasa nyaman dengan istirahat kami. Ya sudah kami memutuskan membuat tenda d tengah jalan. Tenda di isi oleh grup lampung. Gembel dan beko memompa kasur angin yang dibawanya dari rumah. Sedangkan aku dan bekoq hanya berbagi matras dan sarung untuk segera terpejam.

                Paginya kami bangun masih dengan keadaan ceria dan dingin. Sedikit sarapan lalu berkemas kami lanjutkan perjalanan. Pos demi pos kami lalui. Kabut dan dingin terus menemani. Sesekali istirahat, berfoto lalu melangkah kembali. Akhirnya kami sampai puncak mega gunung puntang. Ada satu tenda dan beberapa orang sedang memasak disana.

                Kami beristirahat dan bersuka cita. Sedikit makanan kecil, minuman berasa, foto-foto dan canda-canda ringan melengkapi summit kami. Kala itu aku lupa jam berapa. Setelah merasa istrahat cukup dan kami merasa masih terlalu dini untuk turun maka kami berjalan terus dengan niat ingin melihat jalur “sirotolmustakim” yang banyak dibicarakan pendaki.

                (sayang sekali fotonya entah dimana) ternyata jalur ini memang ada. Jalur selebar dua jengkal manusia dewasa, dengan kanan kiri langsung jurang tanpa terlihat dasarnya. Aku langsung ingat flm kartun avatar yang harus mengantar wanita hamil melalui “jalur naga”. Mungkin kebodohan kami berawal dari sini.

                Dengan keangkuhan anak muda kami bermaksud melewati jalur ini untuk melihat apa yang ada di sebrang sana. Jika kami lihat menggunakan teropong ada air tejun besar disana. Tanpa banyak perhitungan kami berani melewatinya. Karena terlihat ujungnya, kami fikir hanya beberapa menit jika dilewati. Perkiraan kami meleset. Ternyata ujung jalur yang kami lihat bukanlah ujung jalur ini. Semakin terasa bahwa ini jalur “sirotolmustakim”. Jika kami salah pijakan tamat. Jika kabut datang kami tamat. Jika angin berhembus kencang dari salahsatu sisisnya tamat pula. akhirnya kami berjalan merangkak layaknya bayi. Dengan cariel sebesar dan seberat anak kecil ini sungguh sangat mengganggu pergerakan.

                Akhirnya kami sampai ujung jalur ini dengan selamat. Alhamdulillah. Kami lanjutkan perjalanan dengan jalur yang berangsur normal. Kami berjalan dan menemukan sebidang tanah, didepannya jurang, sungguh tempat camp yang menakjubkan karena guratan-guratan bumi terlihat jelas dari sini. ada pula bekas api unggun. Berarti tempat ini pernah dipakai. Kami berjalan kembali. Endra berteriak karena melihat ular besar. Aku sendiri tidak melihat ular itu sebesar apa. Namun jika di kaitkan dengan mitos maka jika bertemu ular pasti ada sesuatu pertanda. Apa itu entahlah.

Kami terus melangkah. Tak terasa hari sudah semakin sore. Kami diskusi sejenak, jika kami meneruskan perjalan ada beberapa kemungkinan. Kami akan kemalaman di jalan, sedangkan besok kami harus menghadapi UAS di sekolah. Dan kemungkinannyapun masih tidak jelas kami akan keluar diamana. Majalaya ataukah pengalengan. Daripada tidak jelas kami sepakat untuk kembali turun lewat jalur awal yang sudah pasti.

Kami melewati sebidang tanah itu lagi dan tak lama sampai di jalur “sirotolmustakim”. Celakanya kami kabut turun menutupi jalur tersebut. Penuh dengan resiko jika kami melewati jalur tersebut. Kami kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil menunggu kabut hilang. Kami masih bercengkrama bahagia tanpa ada fikiran sesuatu yang buruk akan terjadi.   

                “kabut-kabut turun-turun kami mau lewat.” Begitulah mantra kami untuk membuat kabut pergi namun kabut tak kunjung pergi sedangkan jam sudah menunjukan jam tiga sore. Di sebelah kiri jalur berkabut tersebut kami mendengar suara sungai. “gimana kalo kita susur sungai aja, kan pasti ujungnya kebawah.” Beko mengusulkan. Jalan menuju sumber suara sungai itu adalah tebing dengan kemiringan rata-rata 800. Akhirnya kami sepakat untuk menuruni tebing dengan alat seadanya. Tali webbing 2 gulung yang kira-kira panjangnya 5M tiap gulungnya, tali pramuka  1 gulung dan ikat pinggang 3 buah kami rangkai menjadi satu. Mungkin tali sederhana ini panjangnya antara 20-30M sedangkan tebing yang kami turuni kurang lebih setara gedung 15 atau 20 lantai.
                Kami menuruni tebing dengan sangat hati-hati. Menambatkan tali ke pohon, akar atau rumput liar yang dianggap kokoh. Kami terus merayap dengan sangan pelan. Bekok turun pertama di susul endra, feggy, iyen, aku, gembel dan beko paling atas. Tak lama ada kejadian yang membuat kami tercengang. Endra jatuh, untuk ia bisa ditahan oleh bekok yang ada dibawah namun caryl gembel yang di bawa endra tidak terselamatkan, ia menggelinding, terlempar dan membentur batu-batu tebing berkali-kali hingga akhirnya ia menyangkut di pohon besar tumbang yang membentang. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika caryl itu adalah manusia. Aku berteriak agar semua tetap di tempat, lalu aku kebawah untuk menghindari kejadian serupa dengan orentasi medan. Iyen, feggy, endra aku lalui, terakhir aku berpapasan dengan bekok. Aku tersenyum padanya, “kok, urang menta hampura nyak ka maneh bisi loba salah.” (kok, gua minta maaf ya ke lu kalo banyak salah) entah mengapa kata-kata itu mendadak aku lontarkan.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar