Mereka masih sangat minim pengalaman dalam pendakian namun
harus bernasib malang bersamaku.
Aku
menerawang jauh kebelakang mengapa hal ini bisa terjadi. Dari awal
keberangkatan kami tidak memiliki tenda. Namun dengan nada santai kami berkata
“udah tidur ngampar aja di luar”. Sungguh sakti memang ego anak muda. Untung
saja sebelum berangkat aku mendapatkan sms dari senior untuk memakai tenda yang
ada di basecamp. Untunglah.
Sesampainya di gerbang pendakian
pada sore hari kami mengambil jalan memutar. Mengapa? Simpel saja kami enggan
membayar. aku yang berprinsip seharusnya bumi ini gratis untuk di nikmati pasti
enggan membayar. beberapa kali memang pendakianku tidak melewati gerbang utama.
Kami sempat dipergoki pengawas dan diteriaki, namun kami pura-pura tidak
mendengar terus melaju dan menambah ketinggian.
Malam makin hitam, hewan-hewan hutan mulai
saling bersautan namun kami tak kunjung sampai tempat tujuan. Karena sudah
saling lelah maka kami beristirahat sejenak. Lama-kelamaan kami merasa nyaman
dengan istirahat kami. Ya sudah kami memutuskan membuat tenda d tengah jalan.
Tenda di isi oleh grup lampung. Gembel dan beko memompa kasur angin yang
dibawanya dari rumah. Sedangkan aku dan bekoq hanya berbagi matras dan sarung
untuk segera terpejam.
Paginya kami bangun masih dengan
keadaan ceria dan dingin. Sedikit sarapan lalu berkemas kami lanjutkan
perjalanan. Pos demi pos kami lalui. Kabut dan dingin terus menemani. Sesekali
istirahat, berfoto lalu melangkah kembali. Akhirnya kami sampai puncak mega
gunung puntang. Ada satu tenda dan beberapa orang sedang memasak disana.
Kami beristirahat dan bersuka
cita. Sedikit makanan kecil, minuman berasa, foto-foto dan canda-canda ringan
melengkapi summit kami. Kala itu aku lupa jam berapa. Setelah merasa istrahat
cukup dan kami merasa masih terlalu dini untuk turun maka kami berjalan terus
dengan niat ingin melihat jalur “sirotolmustakim” yang banyak dibicarakan
pendaki.
(sayang sekali fotonya entah dimana) ternyata jalur
ini memang ada. Jalur selebar dua jengkal manusia dewasa, dengan kanan kiri
langsung jurang tanpa terlihat dasarnya. Aku langsung ingat flm kartun avatar
yang harus mengantar wanita hamil melalui “jalur naga”. Mungkin kebodohan kami
berawal dari sini.
Dengan keangkuhan anak muda kami bermaksud melewati
jalur ini untuk melihat apa yang ada di sebrang sana. Jika kami lihat
menggunakan teropong ada air tejun besar disana. Tanpa banyak perhitungan kami
berani melewatinya. Karena terlihat ujungnya, kami fikir hanya beberapa menit
jika dilewati. Perkiraan kami meleset. Ternyata ujung jalur yang kami lihat
bukanlah ujung jalur ini. Semakin terasa bahwa ini jalur “sirotolmustakim”.
Jika kami salah pijakan tamat. Jika kabut datang kami tamat. Jika angin
berhembus kencang dari salahsatu sisisnya tamat pula. akhirnya kami berjalan
merangkak layaknya bayi. Dengan cariel sebesar dan seberat anak kecil ini
sungguh sangat mengganggu pergerakan.
Akhirnya
kami sampai ujung jalur ini dengan selamat. Alhamdulillah. Kami lanjutkan
perjalanan dengan jalur yang berangsur normal. Kami berjalan dan menemukan sebidang
tanah, didepannya jurang, sungguh tempat camp yang menakjubkan karena
guratan-guratan bumi terlihat jelas dari sini. ada pula bekas api unggun.
Berarti tempat ini pernah dipakai. Kami berjalan kembali. Endra berteriak
karena melihat ular besar. Aku sendiri tidak melihat ular itu sebesar apa.
Namun jika di kaitkan dengan mitos maka jika bertemu ular pasti ada sesuatu
pertanda. Apa itu entahlah.
Kami terus
melangkah. Tak terasa hari sudah semakin sore. Kami diskusi sejenak, jika kami
meneruskan perjalan ada beberapa kemungkinan. Kami akan kemalaman di jalan,
sedangkan besok kami harus menghadapi UAS di sekolah. Dan kemungkinannyapun
masih tidak jelas kami akan keluar diamana. Majalaya ataukah pengalengan.
Daripada tidak jelas kami sepakat untuk kembali turun lewat jalur awal yang
sudah pasti.
Kami melewati
sebidang tanah itu lagi dan tak lama sampai di jalur “sirotolmustakim”.
Celakanya kami kabut turun menutupi jalur tersebut. Penuh dengan resiko jika
kami melewati jalur tersebut. Kami kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil
menunggu kabut hilang. Kami masih bercengkrama bahagia tanpa ada fikiran
sesuatu yang buruk akan terjadi.
“kabut-kabut turun-turun kami
mau lewat.” Begitulah mantra kami untuk membuat kabut pergi namun kabut tak
kunjung pergi sedangkan jam sudah menunjukan jam tiga sore. Di sebelah kiri
jalur berkabut tersebut kami mendengar suara sungai. “gimana kalo kita susur
sungai aja, kan pasti ujungnya kebawah.” Beko mengusulkan. Jalan menuju sumber
suara sungai itu adalah tebing dengan kemiringan rata-rata 800.
Akhirnya kami sepakat untuk menuruni tebing dengan alat seadanya. Tali webbing
2 gulung yang kira-kira panjangnya 5M tiap gulungnya, tali pramuka 1 gulung dan ikat pinggang 3 buah kami
rangkai menjadi satu. Mungkin tali sederhana ini panjangnya antara 20-30M
sedangkan tebing yang kami turuni kurang lebih setara gedung 15 atau 20 lantai.
Kami
menuruni tebing dengan sangat hati-hati. Menambatkan tali ke pohon, akar atau
rumput liar yang dianggap kokoh. Kami terus merayap dengan sangan pelan. Bekok
turun pertama di susul endra, feggy, iyen, aku, gembel dan beko paling atas.
Tak lama ada kejadian yang membuat kami tercengang. Endra jatuh, untuk ia bisa
ditahan oleh bekok yang ada dibawah namun caryl gembel yang di bawa endra tidak
terselamatkan, ia menggelinding, terlempar dan membentur batu-batu tebing
berkali-kali hingga akhirnya ia menyangkut di pohon besar tumbang yang
membentang. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika caryl itu adalah manusia. Aku
berteriak agar semua tetap di tempat, lalu aku kebawah untuk menghindari
kejadian serupa dengan orentasi medan. Iyen, feggy, endra aku lalui, terakhir
aku berpapasan dengan bekok. Aku tersenyum padanya, “kok, urang menta hampura
nyak ka maneh bisi loba salah.” (kok, gua minta maaf ya ke lu kalo banyak
salah) entah mengapa kata-kata itu mendadak aku lontarkan.bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar