Jumat, 15 November 2013

anak pedalaman -tamat-

Dari kayu dan saling menimpa.
Ada rumah diatas rumahnya.
Aku takjub. Ini perbatasan.
Tak lama ada kaka masiwa keluar.
Kami di persilahkan masuk.
Didalam rumah timpa ini sangat luas.
Ada kotak berwarna dengan suara.
Kotak suara dan mainan aneh.
Aneh, kami tidak belajar.
Kami diberi makanan elok rasa.
Katanya besok kami boleh datang dan belajar.
Kami pulang saja.
Sampai di hutan ayah murka.
Kami disiksa dan dikurung.
Jadilah hari berikutnya kami tidak datang untuk makan dan belajar diperbatasan.
Dua hari berlalu baru aku berani kabur kembali keperbatasan.
Disana menyenangkan, ada ilmu.
Aku tidak mengajak ano.
Kasihan ia belur dibuat ayahnya.
Dengan penuh rasa sakit bekas siksa akunterus merambah hutan.
Ternyata setengah hari lebih lama dari yang pertama.
Kakiku masih sakit minta ampun karena ayunan rotan ayah.
Akhirnya aku belajar diperbatasan.
Namun aku enggan pulang.
Rotan ayah pasti lebih pedih lagi.
Akhirnya aku pulang di antar orang perbatasan.
Pasti mereka akan kena rotan ayah pula otakku.
Ternyata tidak, hanya mulut ayah saja yang berubah menjadi tempat sampah.
Sampai paman datang semua aman.
Aku tak tahu lagi karena dibawa kedalam.
Kapok aku ke perbatasan.
Namun ayah menginjinkan saat matahari sudah terik.
Aku heran, semua juga, karena Cuma saya.
Bahagialah aku dibuatnya.
Walau takut bukan kepalang.
Esok aku kembali ada di perbatasan, pagi.
Sore kembali lalu mengajarkan pada teman.
Aku kini di panggil masiwa layaknya kakak itu.
Aku tak pandai mengajar hingga muridku banyak yang tidak percaya.
Hahaha tapi mereka selalu minta diajar.
Kini diperbatasan ada 7 anak dari suku berbeda.
Hampir sama denganku mengapa mereka disini.
Kini aku bertekat menjadikan teman pedalaman bependidikan.
Agar suku kami bertambah maju esok hari.
Tapi tenang aku masih suku pedalaman.
Karena
Alam dan ilmu itu kepaduan yang romantis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar