“kopi bang”
“kopi apa mbak?”
“pada mau kopi apa hey?”
“aku coffemix”
“sama”
“aku white coffe aja, biar
tambah putih”
“coffe mix 2, kopi item 1,
white coffe 1 bang.”
Ayu, dia wanita yang memesan kopi untuk kami. Entah sejak
kapan ia menyukai kopi hitam. Lama saya tak jumpa dengannya, banyak perubahan.
Hanya satu yang tidak berubah, dia tidak “Ayu”. Memang sejak dulu ia tomboy,
mungkin karena itu ia menyukai kopi hitam.
“ini mbak”
“kopi item 2, white coffe
1, kopi mix 1”
Kami heran
“yawdah gakpapa” bankbross
sambil beranjak.
“kemana bank?” sahutku
“meuli udud”
Setauku abank sudah
mengantongi rokok.
“yeuh cocok jeung kopi
hideung” sambil pamer 234 dua batang.
“ah maneh ma aki-aki”
“yuk kita nyari spot
nongkrong” mhadamz angkat bicara.
“enggak ah, males nongkrong
ma” tolakku.
“kok gitu sih?”
“kalo duduk hayu, nongkrong
ma pegel”
“bwahahahha” semua geli.
“yaelah, kite di jakarte
tjum, gaol dikit ngape”
Aku pura-pura bego, walau
aku tau aku ,gak mau menghentikan tertawaan mereka.
“mhadamz, sini aku bawain
kopinya”
“nih” sambil menyodorkan
coffemix ditangannya.
Selalu menyenangkan dengan mhadamz, apalagi saat
gegombalan, layaknya kami berpacaran, tapi tidak akan, dia sudah ku anggap adik
sendiri. Aku harus menjaganya. Jika dikemudian hari skenarionya berubah? Ya
lihatlah nanti.
Kami berjalan diantara kerumunan manusia. Mereka berjajar
sepanjang jalan –entah apa namanya- senayan city. Mencari spot duduk-duduk –aku
tetap tidak mau nongkrong-. Akhirnya kami mendapat tempat. Cukuplah untuk empat
pantat yang mungil. Kami duduk. Di belakang mhadamz dan cheper –sebutan ayu
kala dahulu, cheper=chewe perkasa-pot bunga besar. Dibelakang ku dan abank
orang berpacaran dan tukang tahu gejrot. Sayang saja tukang tahu gejrot tidak
berpacaran. Jika ia berpacaran, lenyaplah tahunya olehku.
Ini malam makin kelam. Untung saja aku memiliki manusia
seperti mereka. Sahabat. Mataku sudah lelah dari kemarin. Apalagi sebelum
bertemu, hujan kalkulus, kimia dan air menerpaku. Entah mengapa daku menjadi
kuat. Terlebih ketika menatap mata mereka. Mendengar tawa mereka. Dan mencium
aroma kebahagiaan dalam dada mereka.
Jarum jam terus bergulir, menghantam kami yang sedang
berkisah. Tanpa ampun ia terus berlalu. Menyisakan sedetik lalu menjadi
kenangan. Manusia dan kuda besi saling memperlihatkan egonya. Ketampanan. Mereka
tertawa mereka terbahak mereka manusia.
Segala macam cairan terlihat disisi mereka. Gelas plastik
penampungnya. Dari mulai jamu, jus jambu, hingga yang berbau –ciu-. Kata
mereka, hangat menenggak air kelabu. Namun cukuplah dengan tali ini –sahabat-,
kopi serta dua batang 234 yang dibeli abank tadi menjadi penghangat kami.
Bahuku disentuh lembut. Bukan, bukan tangan kasarnya abank
yang pekerja keras. Bukan pula tangan cheper, karena ia lebih suka memukul
bahuku daripada menyentuhnya. Dan kupastikan pula bukan tangan lembut mhadamz,
ya jika dibandingkan dengan cheper dan abank. Tangan ini mungil. Dan setelah
menoleh kulihat anak yang teramat muda –balita, 4th mungkin- memasang wajah
terburuknya. Aku berfikir beberapa saat. Dan pada kesimpulan. “malam ini aku
tidak membawa anak, dan tidak punya pula”. lalu milik siapa ranting muda ini?
Milik siapa masa depannya? Dia hanya mampu mengulurkan tangan. Aku berharap ia
memberi ternyata ia meminta. Pandanganku berkeliling, siapa pemiliknya?
Tertangkap! Wanita sebaya dengan kami, dia hanya menunggu si kecil menggenggam
tangannya dan berteriak “seribu” –degan logat balita tentunya-. Ada rasa iba
melihat rautan si kecil namun berubah 1800 jika melihat benalunya.
Akhirnya hanya kata maaf yang terucap dari bibirku. Ketiga temankupun serupa.
Mereka sedikit tertunduk. Malukah? Entah apa yang mereka fikirkan. Yang jelas
kebencianku terhadap benalu lebih besar daripada rasa iba untuk memberi. Namun
mungil tangannya terus memaksa kami mengeluarkan beberapa rupiah. “maafkan aku
adik kecil, harusnya kau bermain dan benalumu bisa berbuat lebih, bukan meminta
lebih”. Perlahan ia mengerti, dan pergi ditelan kerumunan manusia. Ia tetap
tersenyum. Tapi tidak kulihat pada benalunya. Mungkin ia kecewa atau apalah
hanya ia yang mengerti.
Tak lama berselang hadir charlie’s angel, atau trio macan,
atau apapun mereka. Mereka bertiga. Ketiganya membawa gitar kecil. Berpakaian
serba hitam bergambar kutukan, skiny jeans penuh tambalan, rambut panjang
hampir acak-acakan, suara parau dan serba ketidakteraturan yang terjadi pada
diri mereka. Mereka semua wanita, mencari harta dengan membawakan lagu cinta.
Umurnya dibawahku beberapa tahun –asumsi-. Mungkin kami lebih beruntung masih
memiliki pekerjaan yang layak. Alhamdulillah. Tapi mengapa mereka harus menjual
suara yang tidak jelas pada kami. Aku yakin mereka masih memiliki daya untuk
melakukan hal lain dan berkarya. Benarkah keadaan yang memaksa? Atau kenyamanan
mereka dengan tidak berlaku lebih. Ok.lah jika memang terpaksa, tapi seharusnya
hasil yang mereka dapatkan dibawa pulang untuk membahagiakan orang rumah. Namun
nampaknya itu tidak akan terjadi. Dari penampilan mereka pastilah uang hasil
berkeliling sepanjang malam digunakan untuk hal lain. Mungkin untuk pesta.
Entah pesta apa, atau apa yang mereka rayakan. Mengapa aku berfikir seperti
itu? Bukan tanpa alasan. kala kelas 3 SMP aku pernah berteman dengan yang
sejenis dengan mereka. Bedanya temanku lelaki semua. Untuk merasakan bagaimana
kehidupannya aku terjun langsung. Singkat cerita sebelum mengamen kami memalak,
menjadi calo angkot dan udunan untuk membeli “minuman”. Lalu kami mengamen dari
siang sampai sore, berebut lapak dengan sesama pengamen dan hal lainnya. Hasil
kami banting tulang hanya untuk membeli “minuman’’ dan sekantong kresek ubi
mentah. “Sia-sia” hatiku bicara. Mereka terbiasa “minum’’ dan “ngobat”
(dekstro) untuk mempertebal mental katanya. Supaya tidak malu. Jika hal ini
memalukan mengapa dilakoni gumamku. Toh nyatanya kami masih muda dan bukan hal
yang sulit untuk berkerja. Pait-paitnya kami bisa menjual tenaga kami sebagai
kuli. Kala itu kami berempat. Dan hanya aku yang tidak “ngobat” dan “minum”.
Alhamdulillah Allah masih memberiku rasa takut. Dan saya simpulkan teori mereka
tentang memperkuat mental NOL besar. Nyatanya aku yang tanpa doping bisa
menjalani semua yang mereka lakukan dengan lancar. Mental itu tumbuh dari niat
dan hati yang murni bukan alkohol murni.
Bagus cum.. Jadi pengen duduk2 lagi sama-sama, melihat gemerlap kota. :)
BalasHapusKapan dimana kita menghabiskan kopi lagi? Ya sesekali mentertawakan dunia ini
BalasHapusyuk nongkrong gahol lagi ampe subuh hihihihi
BalasHapusRujak jagung, yang ngajak yang nanggung :p
Hapus